Tentang Penulis

KOKO P. BHAIRAWA, adalah nama pena Prakoso Bhairawa Putera S, lahir di Tanjung Pandan, 11 Mei 1985. Setelah menamatkan pendidikan di SMU 2 Sungailiat (2002), ia melanjutkan studi pada Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Sriwijaya.

Kegemarannya menulis sejak SMP telah membawanya menjadi juara pada berbagai kompetisi menulis baik bidang ilmiah maupun sastra dari tingkat provinsi sampai nasional. Di antaranya puisi Bercerita Sekawanan Camar menjadi Pemenang 1 Lomba Cipta Puisi tingkat Nasional tahun 2002. Cerpen ‘Nek Tie’ menjadi Pemenang Harapan Penulisan Cerpen On Line se-Sumatera 2005. cerpen ‘Coklat di Negeri Pasir’ menjadi Nominasi CWI 2005 tingkat nasional dan cerpen ‘Tempat yang Kami Rindukan Dulu’ menjadi Pemenang 3 Lomba Penulisan Cerpen Mahasiswa se-Indonesia 2006.

Mantan wartawan pelajar “AkSes” Bangka Pos Group dan Pimpinan Redaksi Tabloid mahasiswa Indralaya Post Universitas Sriwijaya ini, karya-karyanya berupa puisi, cerita pendek, esai, artikel, dan dongeng dimuat di Suara Karya, Annida, Cinta, Bangka Pos, Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres, Transparan, Berita Pagi, Tabloid Monica, Tabloid Anak Hoplaa serta tersebar di internet (cybersastra.net, puitika.net, penulislepas.com, milis apresiasisastra, dll). Megat Merai Kandis: Cerita Rakyat dari Bangka (Grasindo, 2005) merupakan buku komersilnya pertama yang disusun bersama sang Bapak. Karya lain terdapat pada Antologi: La Runduma (Menpora-CWI, 2005), Ode Kampung: Kumpulan puisi dan esai Temu Sastrawan se-Nusantara (Rumah Dunia, 2006), 137 Penyair Menuju Bulan: Kumpulan Puisi Penyair se-Nusantara (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, 2006), Uda Ganteng No 13 (GIP, 2006), Menggapai Cahaya (Jmed Palembang, 2006), dan Aisyah di Balik Tirai Jendela (Bestari-Zikrul Hakim, 2006).

Mantan Koordinator Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah Bangka Belitung ini, pernah aktif dan berkesenian bersama Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) sebelum akhirnya melanjutkan studi. Beralamat di koko.bp@plasa.com atau bisa berkunjung ke http://bhairawaputera.multiply.com dan http://bhairawa.blogspot.com


Membatu

Koko P. Bhairawa

LANGIT terasa hampa dalam dingin malam yang telah berintegral dengan hujan. Serpihan air tak henti menjatuhkan diri kemudian dengan bersamaan dan perlahan menghujam pada tiap lapisan tanah. Namun, di antara semua, ada juga yang tak mampu merapatkan diri hingga ke dasar paling dalam. Mereka sepertinya kehabisan energi sehingga hanya mampu mengelompokkan diri pada genangan di permukaan. Tapi pada lensaku itu tak ada, kini. Kuterus menjejak, pepohonan terlihat melebarkan tawa menyambut kedatangan. Tunas-tunas tampak asyik memainkan tiap butir air yang jatuh mengenai tubuh hijaunya.

“Indah betul negeri ini!”

Sesaat jejak mengecil bersama gemertak rumpun bambu. Daun-daunnya berayun manja.

“Kau telah lama tak datang!”

“Apa kau tak rindukan kami?”

Kini jejak benar-benar terhenti. “Rinduku telah tersayat pada tiap celoteh burung-burung gereja yang acapkali mengabari duka kekasih.”

Pada kelam hari kutemukan ada yang duduk bersilah pada pokok pohon yang telah ditinggalkan pucuk-pucuk kuning, ranting-ranting kopong dan getah menyengat. Ia telah meluruhkan pekat semerbak tropis – melambungkan darah hingga titik tertinggi pada pendewasaan jiwa. Sesaat berlalu, dari hitam malam satu persatu penghuni mengitarinya.

“Hai, apa yang kau lakukan di sini?” dari rimbun malam sesosok tampak sudah. Pandangannya jauh ke depan. Ia telah menunggu sejak kepergiaan kuterakhir. Dan selama itu, pada kumpulan bebatuan ia mengawasi semua yang datang dan pergi.

“Aku menunggumu!” kata-katanya seolah sedang marah. Tapi sungguh aneh, aku tak mengenal siapa dia. Kenapa ia marah padaku?

“Kau tak mengenalku?”

“Kau yang menjadikan aku menunggu.”

Kulepaskan pandangan dengan seksama, sekeliling begitu gelap hanya beberapa nyala pelita yang menatulkan cahaya. Aku kemudian merendahkan tubuh, tangan mengusap-usap tepat di bagian bawah tubuh. Sesuatu begitu keras mulai kurasakan. Pusat syaraf pun mengamini.

“Nah, kau sadar kenapa aku menunggu?”

“Itu ulahmu!” suaranya semakin meninggi sembari melirikkan pandang.

“Setiap jejak yang kau tinggalkan menjadi rahmat bagi orang-orang di sana. Kata orang-orang jejakmu menjadikan mereka terhormat dan dihormati. Hingga wajar saja, pada tiap jengkal yang telah berlumpur dan berwarna coklat airnya menjadikan orang-orang berbondong datang dengan membawa batu-batuan. Orang-orang lalu menabur pada tiap jejakmu. Sampai akhirnya tak ada lagi kubangan tempat sapi mandi ataupun kambing sekadar menumpang minum.” Pandangannya kembali menjauh. Entah sadar atau tidak kalau diri telah begitu dekat dengannya.

“Kau sadar sekarang? Jangan mengelak!”

Aku hanya membulatkan mulut, sepertinya molekul ingatanku terlalu padat. Rongga pun terlalu sesak. Agak lama aku memilah berkas mana yang berhubungan dengan ucapannya. Tapi hingga seperempat perjalan jam belum juga kutemukan.

“Kau telah membuat semua berubah. Orang-orang yang dulunya hidup dalam surga kau kenalkan dengan buah-buah terlarang. Dulu mereka hidup dengan damai sampai kau dan jejakmu menjadikan semuanya aneh. Dan sungai yang telah memberikan banyak ikan menjadi sepi dari kail ataupun jala, bahkan mulai ditinggalkan perahu-perahu berjiwa. Sawah ladang tempat padi dan sumber penghidupan hadir menjadi lengang dari sabit ataupun parang panjang. Ternak-ternak tanpa kesusahan mendapatkan minum dan panganan di sabana. Semunya menjadikan orang-orang itu betah berlama-lama mendiami negeri surga ini.”

“Ha ha ha!” dentum tawa keluar dari mulutnya. Sesaat kemudian matanya yang merah memandangku lekat, mimiknya perlahan berubah penuh kebencian. Aku semakin menjadi orang bodoh di hadapannya.

“Kau datang sebagai khalifah di negeri surga ini,” lanjutnya.

“Semua kata yang keluar menjadi pedoman bagi orang-orang itu dan mereka bertingkah seperti yang kau tuturkan.”

Aku benar-benar tak mampu menuturkan sedikit kata. Tak ada yang bisa diterima oleh memori otak kecilku. Ucapannya menjadikan aku semakin terpojok dengan hal-hal gila dan benar-benar tak kuketahui. Hingga migren dengan cepatnya menyerang. Aku kemudian menjejak menjauh. Pantulan pelita yang kulihat begitu mempesona. Cahayanya terlihat memanjang mengikuti tubuh anak sungai.

Tapi tiba-tiba derap kaki membelah kesunyian malam. Mataku belum menangkap siapa-siapa pemilik derap itu. Namun, yang terlihat hanyalah nyala api yang menjilati sisa hujan.

“Nah, kau masih belum sadar juga. Orang-orang itu kembali mendatangi tempat dimana buah-buah terlarang itu ada. Mereka sekarang menjadi kehilangan selera berlama-lama menjemur padi, menanamkan kaki pada lumpur sawah, atau menarikan jemari pada tiap sela pucuk-pucuk rumpun lada. Alhasil, mereka menjual semua yang dipunyai. Mulai dari padi, lada sampai hektar garapan harus berganti dengan setumpuk kertas bernilai.”

Aku terhenyak. Tak kupikirkan kalau yang ia maksud adalah ini semua. Ketika, aku mulai berhasil menarik berkas itu. Dengan gagahnya sekelompok orang melewati tubuhku. Aku mulai merasa aneh. Setelah kelompok pertama berlalu, tubuh pun kucoba berdiri. Tapi belum setengah kutegakkan tubuh, kelompok kedua tanpa menghiraukan menjejak ditubuhku yang mulai kehilangan udara. Perlahan mataku kabur dan akhirnya tak terlihat mereka yang ada di atas tubuhku.

“Mereka tak lagi mengenaliku. Mereka lebih kenal dengan buah-buahan terlarang yang dulu pernah kubagikan pada mereka?”

Pada detik berikutnya tubuhku telah merapatkan diri dengan jalanan yang telah berbatu. Lalu ruang-ruang itu menjadi sepi dan kembali menyendiri menyaksikan tubuhku yang dipenuhi mimpi. Membatu bersama jalanan yang telah berbatu, dan setumpuk kerikil aya-ayat yang dilantunkan dari mushalla kampung.

Palembang, 15 April 2006

Keramba Ikan

Cerita Pendek Karya Solehun Mushadin

BAGI pemilik kerambah ikan di sepanjang Sungai Mudik, hari ini adalah hari paling menakutkan. Bukan karena mau kiamat. Juga bukan karena kebetulan hari ini tanggal 11 September, yang terlanjur diklaim oleh George Walker Bush dan sekutunya sebagai hari ancaman bom Osama Bin Laden. Tapi ketakutan itu semata-mata karena hari ini merupakan batas terakhir toleransi aparat untuk mengizinkan kerambah ikan mengapung di pinggiran Sungai Mudik. Aparat akan membongkar paksa jika sampai jam lima sore nanti kerambah itu masih menghiasi sungai. Pemiliknya bakal ditangkap dan diproses secara hukum.

Hari ini aku benar-benar bingung. Tak tahu mesti berbuat apa. Pikiran pun mendadak buntu. Padahal pada saat ini warga pemilik kerambah ikan, telah berkumpul di rumah knock-down-ku. Mereka sudah sangat gusar. Mereka menuntutku segera berinisiatif. Segera melakukan tindakan penyelamatan. Negosiasi perpanjangan waktu toleransi kek! Mendatangi wakil rakyat untuk minta perlindungan kek! Atau dari sekarang, merancang aksi penghadangan aparat! Kita harus segera berbuat sesuatu demi periuk-nasi kita! Jujur. Setelah Tuhan, kerambah ikan segala-galanya bagi kita. Kita harus pertahankan kerambah ikan itu sampai titik darah penghabisan! Begitulah, inisiatif justru berhamburan dari mulut mereka dan melabrak kepongahanku.

Naluri dan rasa tanggung jawabku sebagai Ketua Serikat Petani Kerambah Ikan Sungai Mudik mendadak bangkit begitu masalah kerambah ikan dikaitkan dengan masalah periuk nasi. Aku kembali tersadar, kalau usaha kerambah ikan memang telah menjadi urat nadi ekonomi masyarakat sekitar Sungai Mudik. Tercatat dalam buku induk perserikatanku, ada 600 kepala keluarga yang menggantungkan hidup pada usaha kerambah ini dengan bermacam-macam ikan peliharaannya. Ada ikan mas, patin, gurami, juga lele.

Mereka benar-benar telah menyatu dengan usaha ini. Berkerambah ikan telah mereka jalani selama bertahun-tahun. Hasil kerambahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena usaha ini, anak-anak mereka tidak kelaparan. Juga tidak mengalami gizi buruk. Bahkan anak-anak mereka sempat ditamatkan sekolah, meski sebatas SMP.

Begitulah aku memahami kerambah ikan dan penduduk di sekitar Sungai Mudik. Pemahaman itu menyeretku pada keputusan harus segera melakukan sesuatu. Aku harus berjuang menyelamatkan nasib mereka. Juga kerambah ikan itu. Aku tak mungkin berdiam diri. Rasanya berdosa. Juga pasti masuk neraka, jika selaku ketua perserikatan, aku tak melakukannya.

Asap Jamboe Bol mengepul tebal dari lorong mulutku. Mereka tahu, itu pertanda semangatku mulai hidup. Mereka tersenyum renyah. Sejurus mereka mengusap senyumnya lalu diam, menanti buah pikiranku. “Negosiasi tak mungkin lagi, kawan-kawan. Seribu kali negosiasi kita lakukan, seribu kali pula kepala daerah berujar, 'tidak ada kompromi'. Sebab yang ada di otaknya kerambah ikan itu penuh dengan masalah. Merusak pemandangan. Mencemari lingkungan. Mengganggu lalu lintas sungai. Itulah yang dapat aku simpulkan dari berapa kali menghadapnya selama ini.” Begitulah aku mencoba meyakinkan kawan-kawan. Negosiasi bukan langkah yang tepat. Tiada guna.

“Tapi penilaian itu salah. Lagian kerambah kita justru memperindah pemandangan. Lagian bentuknya yang mirip balok terapung dan berjejer di sepanjang bibir sungai, justru dapat menjadi objek wisata air. Lagian telah beberapa kali turis luar negeri melancong ke sini, sekadar untuk melihat-lihat kerambah ikan kita. Lagian bahan dan ukuran masing-masing kerambah kita sama sehingga terlihat rapi. Lagian semua terbuat dari bambu dengan tinggi 3 meter, lebar 3 meter, dan panjang 5 meter. Lagian, terus di mana letak alasannya bahwa kerambah kita merusak pemandangan?” Pertanyaan penuh nada heran itu meloncat dari Sudin. Di tengah kami, pemilik sepuluh kerambah ini sering disapa Pak Lagian. Ya tadi, karena selalu menyebut “lagian” saat berbicara. Sudin sangat tidak setuju jika kerambah ikan dikatakan merusak pemandangan. Dalam benaknya, tidak mungkin turis tertarik datang ke sini kalau kerambah-kerambah itu tidak memiliki nilai wisata.

“Saya sekata dengan Pak Lagian, eh sory, Pak Sudin. Tidak benar kerambah merusak pemandangan. Itu mengada-ada. Tidak masuk akal. Bagiku, kerambah juga tidak mencemari lingkungan. Memangnya limbah apa yang ditimbulkan oleh kerambah? Limbah kimia, mustahil! Sebab kerambah kita tidak bersentuhan dengan bahan kimia. Pakan yang kita gunakan juga tidak tercampur zat kimia.” Kali ini pikiran pembelaan terlontar dari Jamalat.

“Sudahlah. Jangan digubris ocehan mereka. Aku malah curiga kalau kita mau dikambing-hitamkan. Dalam sejarah tidak pernah yang namanya ikan mencemari lingkungan. Yang ada malah lingkungan mencemari ikan. Kalian ingat tidak kejadian lima tahun lalu. Semua ikan kita mati karena air sungai teraliri limbah kimia. Waktu itu kita tahu persis kalau limbah itu berasal dari perusahaan besar di hulu sungai. Limbah itu sengaja di buang ke sungai oleh pihak perusahaan. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk menekan biaya produksi dan memperbesar keuntungan perusahaan. Tapi anehnya, pejabat dan pemilik perusahaan itu malah dengan enteng menyebut itu sebagai bentuk ketidaksengajaan. Kita saat itu menuntut ganti rugi, tapi kandas. Pejabat buru-buru mencegahnya. Katanya, tuntutan ganti rugi tidak layak disampaikan mengingat limbah kimia yang mengaliri sungai itu tidak ada unsur kesengajaan perusahaan!” seru Kamsir menerka motif di balik polemik.

Aku diam seribu bahasa ketika Sudin, Jamalat, dan Kamsir secara giliran mengutarakan pikirannya. Aku diam bukan karena tidak bisa mengikuti alurnya. Atau bukan tidak setuju. Aku diam karena aku mengaminkan kebenarkan tuturan mereka.

“Aku juga sejalan dengan pikiran yang barusan saudara-saudara utarakan. Memang semua yang dituduhkan atas kerambah kita tidaklah benar. Termasuk jika kerambah kita dinilai mengganggu lalu lintas sungai. Sungai Mudik itu luasnya 1000 meter. Sedangkan kerambah kita hanya makan tempat 3 meter dari bibir sungai. Kalaupun lebar kerambah di lajur Barat dan lajur Timur sungai itu digabung, hanya butuh tempat 6 meter. Lebar itu sama sekali tidak mengganggu lalu lintas sungai. Kerambah itu juga tidak kita pasang pada tempat-tempat umum. Tidak ada di pemandian penduduk, juga tidak ada di pelabuhan speedboat atau tongkang.” Aku kembali bersemangat menunjukkan bahwa semua tuduhan negatif seputar keberadaan kerambah ikan di Sungai Mudik tidaklah benar.

Terlihat olehku semangat perlawanan 600 orang pemilik kerambah ikan kini kian membara. Amarah mereka benar-benar tersulut begitu tahu alasan penggusuran kerambah hanya akal-akalan semata. Tanpa komando, ratusan tangan mereka terlihat serempak mengepal menyodok langit. Ratusan kaki pun dihentak kuat menginjak perut bumi. Aku tahu, itu isyarat mereka. Mereka ingin aku segera memimpin gerakan perlawanan.

“Saudara-saudara, kita tidak perlu lagi ke DPRD. Sia-sia saja. Sejak terdengar rencana bakal ada penggusuran, empat bulan lalu, pengurus perserikatan sudah empat kali ke sana. Mengadukan nasib kita. Tapi sampai saat ini DPRD tidak kunjung berbuat apapun. Aspirasi kita hanya ditampung, selanjutnya mungkin dibuang ke keranjang sampah. Tidak pernah ditindaklanjuti. Wakil rakyat itu jelas-jelas tidak peduli lagi dengan nasib rakyat kecil seperti kita. Mereka telah lupa asalnya dari mana. Padahal langit-bumi saja tahu kalau mereka jadi anggota DPRD karena kita.”

Aku benar-benar marah kepada wakil rakyat yang tak mau memperjuangkan nasib kami, pemilik kerambah ikan. Aku tidak ingin waktu yang tersisa menjelang penggusuran terbuang sia-sia karena kembali mendatangi DPRD.

“Lantas apa yang mesti kita lakukan?” tanya Dulsalam semangat. Sejenak kuterdiam. Kulirik jam Seiko-5 di tangan kiriku. Sudah pukul 4 sore.

“Kita harus segera bertindak!” seru Mat Amin sembari meninju dinding papan rumahku. “Apa pun yang ketua instruksikan, kami akan menjalankan dengan senang hati,” sambungnya.

Aku tersenyum tipis mendengarnya. Aku tersenyum karena mereka yang hadir di sini penuh dengan loyalitas. “Baik saudara-saudara. Demi periuk-nasi kita. Demi anak-anak kita. Kita tidak rela kerambah ikan itu dibongkar. Kita pertahankan sampai titik darah penghabisan!” suaraku lantang, menggelegar, bak petir di siang bolong.

“Setuju! Setuju!” Terdengar koor kesepakatan begitu riuh. Dari ratusan kerambah yang jaraknya hanya 20 meter dari rumahku, terdengar suara geleparan yang tak kalah riuhnya. Ikan-ikan dalam kerambah itu rupanya tak ingin ketinggalan menyatakan dukungannya. Dia tidak ingin kerambahnya dibongkar. Dia seakan ingin bergabung dengan para majikannya. Ingin memperkuat pertahanan.

“Sekarang, mari kita segera menuju pinggiran sungai. Kita bentuk barisan ber-sap membelakangi kerambah. Buat 6 sap, masing-masing sap seratus orang. Untuk jaga-jaga dan seandainya nanti diperlukan, masing-masing memegang pentungan kayu balam. Kayu itu dapat diambil sekarang di samping rumahku.”

Instrusiku langsung dikerjakan. Satu per satu mereka mengambil kayu sepanjang 2 meter. Kayu itu sisa potongan patok kerambah yang kukumpulkan dari anggota. Kayu itu sendiri tadinya akan kujual. Uangnya akan dijadikan modal tambahan koperasi perserikatan. Tapi kayu itu sampai saat ini belum sempat terjual. Mungkin takdir, mungkin kebetulan saja. Potongan kayu itu kini harus jadi alat perlawanan kami.

Belum selesai kami mengambil kayu pentungan, tiba-tiba terdengar suara sirene dari 20 kepala mobil truk bermerk Hino. Mobil itu lebih dulu dari kami menuju pinggiran sungai. Sempat terhitung olehku setiap satu truk memuntahkan 40 orang. 10 orang bersenjata sangkur dan pentungan, 30 orang bersenjata api laras panjang. Mereka lebih cepat menguasai lapangan. Mereka begitu cekatan mengambil alih strategi yang bakal kami gunakan. Mereka seakan sudah sangat terlatih untuk mengendus situasi yang bakal terjadi di medan perang.

Kami bengong. Kami masih kocar-kacir. Kami benar-benar kehilangan strategi perlawanan. Kami saling bertatapan nanar. Kami bimbang. Kami mesti diam di tempat atau langsung menyerang.

Aku sangat sadar kalau sampai menyerang, kami akan tunggang-langgang. Tapi aku juga sadar, kalau sampai menyerah berarti hidup kami akan mati. Mereka akan mengangkat dan menghancurkan kerambah-kerambah itu. Mereka akan mengakhiri tumpuan hidup kami. Mereka akan menjungkir balikkan periuk-nasi kami. Mereka akan menyuramkan hidup anak-anak kami.

Tidak. Mereka tidak boleh menghancurkan kerambah-kerambah itu. Mereka tidak boleh memporak-porandakan hidup kami. Kami harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Meski harus mati, kami tidak gentar. Karena mati kami adalah mati yang punya arti. Mati demi perjuangan mempertahankan hidup.

“Serbu!” Perintah itu bukan keluar dari mulutku. Rupanya mata nanar kami, puluhan pentungan kami, telah memikat komandan mereka untuk mendului perang terbuka. Mereka merangsek. Kami melawan. Mereka menghunuskan pisau. Kami meninju. Mereka memuntahkan peluru. Kami mementungi dengan kayu.

Satu per satu dari kami telah berebut mengakhiri nafas. Entah disengaja atau tidak, aku sendiri justru diberi kesempatan bernafas lebih panjang. Mereka ingin aku bisa melihat akhir dari sebuah perjuangan. Mereka ingin aku melihat nasib tragis teman-teman seperjuangan. Benar, di tengah redup sinar mata, aku saksikan bagaimana teman-temanku yang telah terkulai mati dan bercucuran darah diseret dan diceburkan ke pinggiran sungai.

Masih dari balik redup pandangan mataku dan tarikan sengal nafasku, kutahu darah kawan-kawanku telah memerahkan dan menganyirkan air sungai. Terlihat juga olehku, selisik bambu kerambah ikan di pinggiran itu lepas tercerai-berai, mungkin karena tak kuasa berendam darah anyir manusia. Lalu, ikan-ikan dalam kerambah itu, terlihat mendadak mati. Ah, mungkin dia tak lagi kuasa menahan duka atas kematian tuan-tuannya.

“Kini giliranmu untuk menyusul mereka, ketua konyol! Tapi sebelum nyawamu benar-benar terbang dan tidak sampai meradang penasaran, akan kukatakan apa yang terjadi sebenarnya di balik peristiwa ini. Ini semua adalah hukuman bagi kalian karena telah terlanjur tahu dan terlalu usil dengan persoalan limbah perusahaan. Bagi kami, persoalan limbah itu adalah keuntungan sehingga lebih berharga dari apa pun, termasuk nyawa kalian.”

Suara berwibawa itu terdengar samar olehku. Saat itu mataku tak sempat menelanjangi tubuh pemilik suara itu. Mataku kalah cepat dengan suara brondongan senapan yang berhasil menghilangkan kenanganku akan teman-teman dan kerambah ikan itu.

M. Arpan Rachman

Rumah Penjara

Rumah Penjara

AKU punya kawan seorang penyair, itu kataku. Tetapi lain kata tetangganya. Ia pengangguran sinting, tanpa beban. Banyaklah tertawanya ketimbang menampakkan muka masam atau muka jeruk purutnya. Kalau kata kawanku yang lain, ia figur anti kemapanan sejati untuk saat ini. Hidup tidak untuk masa depan. Hidup adalah saat ini dan nikmatilah saat ini sebelum kesempatan itu mampus bersama harapan dan kenyataan. Aku meyakinkannya ia sebagai penyair total. Maksudku total dalam membuat teks atau syair serta total teks itu menjadi kehidupannya. Apabila melihat tingkahpolahlakunya itulah syair show lifenya. Kalau terpana atau menggelengkan kepala tiga kali melihatnya, berarti syairnya itu melaksanakan tugasnya laksana sihir atau hipnotis. Itulah salah satu kelebihan syairnya.

Sekian banyak syair yang di lahirkannya tidak ada yang dapat dijadikannya rumah. Padahal ia sangat mendambakan sebuah rumah yang cantik, yang dapat memanjakannya dari terik matahari, dari dinginnya embun pagi, dari kelelahan yang sangat. Namun telah menjadi rumah bagi jiwanya. Ia tidak perduli dengan keadaan dirinya yang menurut orang lain merusak mata dan memekakkan pendengaran. Ia jalani lalu lintas kehidupan dengan sabar, realistis dan kadang subversif.

Rumah kawanku itu di belakang rumah penjara negara. Maaf, rumah penjara itu terlalu sarkasme, terlalu subversif, terlalu menggoco ulu hati, terlalu melecehkan, kurang manusiawi, menyamai kekuasaan Tuhan: untuk itu diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan biar terasa akrab, bersahabat, ramah dan manusiawi alias bermoral atau beradab; seperti istilah bencana kelaparan menjadi rawan pangan, rasanya terdengar menyejukkan kolbu, serasa tiada ada sesuatu peristiwa yang tragis walau yang kelaparan itu ribuan orang dan atau yang mati ratusan. Lembaga Pemasyarakatan sebuah tempat dimana orang-orang yang di jebloskan ke dalamnya adalah orang-orang yang tidak bisa hidup bermasyarakat atau tidak memperdulikan hak orang lain atau melanggar ketentuan hukum yang telah digariskan lembaga.

Kawanku itu namanya Samiun. Biasa dipanggil Miun. Ia kawan satu dusunku. Dusun yang jauh di bawah kaki gunung Dempo. Hawanya dingin, sejuk, mata airnya jernih bening tanpa ada campuran limbah pabrik pupuk, kertas, atau karet. Di kaki gunung tidak ada pabrik yang merusak ekosistem atau mencemari alam di mana mereka bernaung. Mereka mengakrabi alam dengan kearifan dan kesederhanaan. Aman. Damai. Namun perlahan pasti globalisasi menghajar seluruh style dusun menjadi snobis, konsumerisme serta trendy, seperti robot-robot bernyawa di rumah susun, apartemen, atau di kolong-kolong jembatan, di tepi-tepi sungai. Asyik deh, huh!

Angin semilir dihembuskan bersama wangi bunga kawo (kopi), padi dan tanah yang perawan, juga bau keringat para petani yang memetik buah, menanam bibit dan sedang menyabit rumput. Di sanalah kami dilahirkan di dalam kesegaran alam dan lingkungan yang mengagungkan rasa kekeluargaan dan kekerabatan yang sangat tinggi, siapapun saudara asal satu dusun. Begitulah di perantauan, lain pula kalau sudah tiba di dusun, kembali ke tabiat semula sebagai mahluk yang juga mentasbihkan ego individualnya.

Miun syaraf, maksudnya urat syaraf otaknya terganggu sehingga mengganggu cara pandang berpikir dan entahlah, mungkin gila. Orang-orang dusun mengenal Miun dari kebiasaan yang dianggapnya buruk, tidak wajar. Miun seringkali berteriak-teriak atau menjerit, seperti meneriakkan sesuatu yang tidak pernah dimengerti warga dusun seperti sebuah ungkapan rasa yang menghimpitnya, entah jeritan sebuah harapannya yang seringkali terlipat dalam ketiaknya dan ketiak warga, atau hanya sebuah kejahilan yang wajar dari jiwa muda, jiwa pemberontak. Namun apa yang diberontakinya? Ya itulah sumur dalam dapat diukur, hati dan jiwa orang mana kita tahu kedalamannya. Barangkali kita tidak mau tahu dan tidak mau belajar untuk mendalami dan mengukurnya. Kita memang tai kucing! Mengatakan Miun saraf, jangan-jangan kita lebih saraf dari Miun. Huh!

Aku benci dengan orang-orang seperti itu. Mencela orang tapi diri tidak pernah berkaca. Kadang aku juga tolol seperti itu. Namun tidak ada orang yang luka karenanya hingga bercucuran darah, hanya luka hati tidaklah tampak menyemburkan darah. Kita memang sering menghina hati kita sendiri apalagi dengan orang lain, barangkali. Jiwanya merintih seperti tertusuk belati di ulu hati. Apalagi dikhianati sang kekasih. Aaaaaaa!!!

Rumah Miun di belakang penjara. Bentuk rumahnya tidak seperti rumah pada umumnya memiliki ruang-ruang tertentu sesuai fungsinya. Rumahnya hanya persegi empat, kira-kira dua setengah meter kali dua meter persegi. Tinggi atapnya kira-kira dua setengah meter. Ruang itulah yang ia miliki untuk memenuhi segala kebutuhannya. Orang yang pernah melihat rumahnya, menghawatirkan akan konstruksi bangunannya yang sangat melarat dari kekuatan semestinya guna menyangga beban yang ditimpakan kepada tiang-tiang dari bambu yang dibelah dua.

Anyaman bilik bambu sebagai dinding rumahnya sudah mulai bolong melebar, sebagian dilapisi koran-koran basi. Lantainya semen campur pasir yang diaci. Kalau dilihat dari bentuknya bukanlah rumah, namun tempat tinggal, karena di situlah ia tinggal lima tahun terakhir. Tempat tinggal itu merupakan tempat istirahat setelah ia berkeliling mengumpulkan barang-barang yang dibuang orang ke bak sampah. Ia menjadi pemulung setelah mengelilingkan ijazahnya untuk mencari pekerjaan. Entah berapa ratus keliling ia tidak pernah diterima perusahaan-perusahaan yang berdiri angkuh itu, pusing tak terobati. Dan akhirnya ia memutuskan untuk bekerja sendiri membuat perusahaan sendiri, apa-apa sendiri. Hasilnya adalah tempat tinggal yang mengkhawatirkan orang. Namun orang-orang sepertinya tidak pernah mengkhawatirkannya.

Tempat tinggal itu tidak menempel ke dinding gedung penjara. Beratap seng plastik, maksudnya bentuk atapnya seperti seng yang bergelombang terbuat dari plastik. Sehingga di dalam ruangan itu terang, baik siang atau malam. Di atas tempat itu ada sebuah lampu milik Lembaga Pemasyarakatan yang menyala setiap malam. Bohong!

Tempat tinggal itu terlalu lebar kalau hanya untuk ngorok sendirian, atau hanya sekedar untuk berkencan dengan binatang malam. Di dalamnya ada satu gerobok dari kayu bekas, satu gantungan pakaian, satu tikar pandan wangi, satu sendok plastik, satu piring plastik dan satu gelas plastik. Gelas, kok plastik, yang namanya gelas itu pasti beling atau kaca! Aneh? Jangan aneh dengan jaman gilo. Lama-lama kita sendiri yang aneh melihat kita.

Miun penyairku, sekarang juga, di sini, akan kutelanjangi kau. Aku terlalu menyayangi syair-syairmu yang kau curi dari lubuk hatiku dan dari otak kanan dan otak kiriku. Aku akan menyelesaikanmu dengan kata-kataku. Aku percaya katakata lebih tajam dari pedang. Katakataku kuasah dengan bukubuku dan katakataku kusekolahkan pada alam raya dan katakataku mencatatkan katakata dalam diriku menjadi senjata tajam. Lebih jitu dari peluru lebih tajam dari samurai.

Miun telah beberapa bulan tidak lagi menempati tempat tinggalnya. Semua tetangganya tidak mengerti ia pergi kemana. Tidak ada yang berani memasuki tempat tinggalnya. Tidak ada maling yang mengincar barang-barang buruk tidak berharga itu. Kecuali syair-syairnya yang ia curi dari lubuk hatiku dan dari otak kanan dan otak kiriku. Kawan-kawan di sekitar tempat tinggalnyalah yang sering menjadi tamu tak diundang. Mereka mengerti betul keadaan di dalam tempat tinggal itu. Tempat tinggalnya tidak dikunci.

Aku datang hanya sekedar untuk menanyakan berapa banyak katakata kalimat gagasanku dan yang tidak kuketahui, telah ia rampas paksa di saat aku sedang mengedipkan mata. Namun niat itu tidak jadi kulakukan. Setelah memasuki ruangan ada selembar surat yang di sematkan di dinding bilik bambu dengan tusuk gigi.

Palembang, 9 Juli 2005

Kepada kawan-kawan yang aku hormati. KINI AKU TELAH MENEMPATI RUMAH PENJARA SEL. MAWAR NOMOR 0065 (sel mawar memangnya Bungalau?!). Begini, kepada polisi, aku mengakui telah mencuri banyak, tak terhitung, katakata kalimat gagasan kontemporer dan yang tidak kumengerti, telah kurampas paksa di saat seorang kawanku sedang mengedipkan mata. Aku sering lupa siapa namanya. Katakata itu telah aku jual untuk menghidupiku sendiri. Kini aku tidak sanggup lagi untuk menghidupi tubuh sebatangkara ini.

Ya sebaiknya kuakui kesalahan itu dan aku bisa masuk rumah penjara. Biarlah hidupku menjadi bagian dari anggaran negara. Entah berapa lama. Hanya aku ingin di rumah penjara sampai hari kiamat nanti. Kini aku telah mengerti bagaimana caranya. Salam,

Tertanda.

Samiun.

***

Rasanya aku tidak perlu menyelesaikan rencana busukku itu. Ternyata ia sudah melakukannya sendiri. Barangkali ia mengetahui rencana busukku itu. Walau sesungguhnya aku tidak tega atas kejadian yang menimpanya, meskipun atas kehendaknya sendiri. Karena sesungguhnya skenario itu telah aku buat supaya ia merasa jera atas perbuatan yang menurutku telah merugikan dan mengganggu eksistensiku dalam dunia entah aku sendiri terkadang bingung dengan keinginanku ini. Aku telah merugikan orang yang belum tentu merugikanku, hanya sekedar meminjam gagasanku tanpa seijinku. Itu saja.

Namun rasanya duniaku telah diporakporandakannya. Sepertinya ia memaksaku untuk menjadi sehelai bayi, yang diarahkan ibunya dan berdasarkan naluri kemanusiaannya memproses dari tidak bisa bicara menjadi cakap, dari merangkak menjadi lari, dari bayi menjadi punya bayi, dari belajar menulis hurup menjadi mempermainkan hurup bahkan mempermainkan kata mempermainkan kalimat. Sekarang kalimat yang telah kupermainkan itu, kau yang memainkan permainanku-nya itu. Lagi-lagi hak milik, lagi-lagi hak cipta tidak memiliki hak. Apa guna identitas kalau kita semua akan mati juga. Identitas hanya tunggal Tuhan. Kata mereka yang beriman dan memiliki kepercayaan terhadap Tuhan.

Kami bersaudara di kota karena kemiskinan. Di dusun belum tentu bertegur walau berdampingan.

Palembang, Juli 2005

Rapanie Igama

Anwar Putra Bayu

Heru Muslim

Anto Narasoma

Tentang Penulis

ALPANSYAH, lahir di Musi Banyuasin, 01 Januari 1970. Pendidikan terakhir adalah S1 FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sriwijaya tahun 1993. Saat ini adalah guru pada SMP Negeri 2 Tanjung Batu Ogan Ilir dan pembimbing bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia pada Bimbingan Belajar Gilland Ganesha. Selain mengajar, juga aktif menulis cerita pendek dan artikel tentang bahasa dan sastra. Beberapa cerpennya pernah dimuat di surat kabar Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres dan majalah remaja Annida. Beberapa artikel tentang bahasa dan sastra pernah dimuat di buletin MGMP BP3M SLTP Sumatera Selatan, Majalah WUNY (Warta Universitas Negeri Yogyakarta), Majalah Pendidikan Gerbang (Yogyakarta) dan Agung Post (Kayuagung).

Tahun 2004 menjadi juara I tingkat Provinsi Sumatera Selatan dalam lomba menulis esai yang berjudul, “Dari PON XVI Hingga Ketika Kita Harus Mengejar Ketinggalan (Sebuah Tinjaun Kebahasaan).” Menjadi juara III tingkat Provinsi Sumatera Selatan dalam Lomba Menulis Cerita Rakyat yang berjudul, “Legenda Batu Pengantin.

Tahun 2005 cerpennya bertajuk, “Matahari di Atas Musi” meraih peringkat ke-8 Tingkat Nasional dalam Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) 2005 yang diselenggarakan Dirjen Dikdasmen Depdiknas di Bogor, Jawa Barat. Cerita rakyat yang berjudul, “Sisir Emas Puyang Putri” meraih juara III Tingkat Nasional dalam Sayembara Menulis Cerita Rakyat Pusat Bahasa Depdiknas dalam rangka Bulan Bahasa 2005.

Rumput Fatimah

Cerita Pendek Alpansyah


BAYINYA dalam posisi menyungsang!” demikian aku mendengar kesimpulan bidan Tuti kepada Karim, suamiku. Dari getar suara yang gelagapan, aku tahu suamiku itu tengah diserang kepanikan yang hebat. Kurasakan tangannya tak henti-henti mengusap butiran-butiran keringat yang membuncah di mukaku.

“Tenanglah, Ma! Atur napas sebaik-baiknya. Kau dapat mendengar dengan jelaskan? Ikuti petunjuk Bu bidan," ujar Karim menyadarkanku. Ia membungkuk, merangkul kepalaku.

“Bu, jangan tidur. Buka matanya! Buka!” bidan Tuti mengingatkan.

Aku tidak menjawab. Semula aku merasakan kesakitan yang luar biasa. Bumi seakan terbelah. Setelah itu aku merasa kelelahan yang berat. Rasa kantuk menggiringku untuk melupakan perjuangan yang saat ini seharusnya aku menangkan, yaitu melahirkan anakku.

Kulihat dinding kamar rumahku merapat, mendekat ke arahku. Ruang kamar yang semula berukuran tiga kali empat meter itu kini terasa sempit, hanya menyisakan sedikit tempat untukku berbaring. Dinding kamar berubah menjadi tembok-tembok yang tinggi mengurungku. Sementara raut muka bidan Tuti yang tengah membantu persalinanku dan wajah Karim, suamiku, serta beberapa orang tetangga yang ikut panik dalam ruangan itu terlihat kabur dan jauh. Jauh sekali! Namun, suara mereka sangat dekat di telingaku. Sangat jelas! Seakan pita suara orang-orang yang berbicara itu menempel di gendang telingaku.

Dalam kelelahan yang berat dan kantuk yang tertahan, aku melihat masa kanak-kanakku yang membentang di sebuah tanah lapang di ujung desa. Mulanya tanah itu adalah areal persawahan. Tetapi sejak kemarau panjang melanda desa kami, tanah-tanah becek persawahan berubah menjadi tanah lapang yang retak-retak. Aku sering berlari-lari di atas tanah retak itu sambil sesekali memungut kepingan-kepingan tanah yang mengeras kemudian melemparkannya. Kepingan tanah yang kulemparkan itu melesat di udara untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali terhempas ke bumi bak nasib pesawat terbang yang jatuh, remuk berkeping-keping. Sesekali aku berusaha melemparkan kepingan tanah itu setinggi-tingginya kalau mungkin sampai ke langit. Aku percaya Tuhan ada di langit. Aku ingin ia melihatku. Sayangnya, lemparanku tidak cukup kuat sehingga baru melambung beberapa meter saja kepingan tanah itu sudah menghujam kembali ke bumi bahkan ada yang nyaris menimpa kepalaku sendiri. Aku menikmati imajinasi tanah kering yang kulemparkan itu.

Tanah retak dan kering itu bentuknya berpetak-petak atau cekung kecil-kecil seperti serpihan kaca yang pecah. Namun, kalau kaca warnanya bening dan datar tetapi pada tanah kering tentu saja warnanya adalah warnah tanah, cokelat kehitaman, dan cekung. Lebih tepat mirip tempurung kelapa.

Di tanah lapang bekas persawahan yang mengering itu juga aku sering bermain layang-layang. Menurutku anak perempuan tidak selamanya harus bermain congklak atau lompat karet. Tidak ada larangan bagi anak perempuan bermain layang-layang. Bermain layang-layang sangat menyenangkan sebab aku merasa seperti berada di bawah payung besar, payung langit. Lebih dari itu, langit yang cerah menjadi lebih indah saat awan-awan putih berarak mengajakku untuk terus bercanda.

Sekali lagi, aku yakin Tuhan ada di langit. Oleh karena itulah, aku menuliskan permohonanku kepada Tuhan di kertas layang-layang sebagaimana juga para malaikat dapat mengejawantah menjadi apa saja dalam menyampaikan wahyu atau membagikan rezeki.

Ada tiga permohonan yang kumintakan melalui tulisan pada layang-layang sebagaimana pernah kudengar dari kakak-kakakku saat mereka berdoa setelah melakukan shalat. Pertama, kelak dewasa aku ingin bersuamikan seorang pria yang saleh, jujur, dan setia. Kedua, aku ingin melahirkan anak yang banyak. Dan ketiga, aku ingin mati dalam keadaan beriman. Lalu aku menitipkan pesanku itu kepada malaikat Jibril yang mengejawantah sebagai layang-layang. Tentu saja aku berkata kepada layang-layang agar Tuhan tidak marah karena tulisanku sangat jelek karena aku masih kecil. Namun, aku merasa Tuhan begitu dekat denganku. Tulisan bagiku hanya bentuk saja sedangkan isi permohonan ada dalam hati.

Aku melompat-lompat senang saat layang-layang itu melayang, meliuk-liuk ke langit, lalu membumbung tinggi. Begitulah aku dengan segala kemanjaan riangku.

Ketika aku tumbuh menjadi gadis remaja, aku merasakan pesan yang kukirim melalui layang-layang dikabulkan Tuhan. Karim, seorang pemuda lulusan pesantren di desaku melamarku. Kami menikah dengan segala suka cita. Berdua kami lalui tangga waktu, puncak-puncak hari dengan tali kasih sayang. Dan puncak segala kebahagian kami adalah saat aku akan melahirkan anak kami yang pertama ini.

Namun, haruskah klimaks dari segala puncak-puncak kebahagian harus berakhir dalam kantukku yang berat? Lalu mengapa Tuhan seperti melupakan permohonanku yang kedua, yaitu melahirkan anak yang banyak? Sebuah pesan yang dahulu pernah kutitipkan kepada malaikat Jibril yang mengejawantah melalui layang-layang dahulu.

“Ma, jangan tidur! Buka mata! Buka! Tarik nafas!” kudengar suara Karim mengkhawatirkanku.

“Tarik nafas dalam dalam-dalam lalu lepaskan!” demikian bidan Tuti membimbingku.

Aku tidak berani membuka mata. Ruangan kamar terlihat sudah sangat menyempit bahkan hanya berjarak sekilan dengan tempatku kini terbaring. Sementara wajah orang-orang yang mengelilingiku semakin samar, semakin jauh. Tetapi, suara-suara mereka sangat jelas. Sangat dekat! Pita suara mereka sekan menempel di gedang telingaku. Jelas, jelas sekali!

“Ini air rendaman rumput Fatimah! Coba buka mulut, minum!” kata Karim seraya membantu menegakkan kepalaku yang layu.

Kudengar pula suara Cek Imas, seorang janda tua tetangga kami yang hidupnya hanya mengandalkan dari mengayam tikar dari rumpun purun.

Biasonyo, wong mudah melahirkan kalau la diminumke bayu rendaman rumput Fatimah. Rumput itu asli dari Mekah. Cirinyo pulo, bungo rumput Fatimah tu kagek mekar saat dicelupke ke jero bayu di cangkir,” demikian ujar Cek Imas.

Rumput Fatimah? Aku tidak sempat memberitahukannya kepada Karim bahwa rumput itu aku selipkan di bawah lipatan pakian di dalam lemari. Syukurlah kalau sudah ditemukan. Rumput itu pemberian ibu mertuaku saat mereka turun haji tahun lalu.

“Ini rumput dari Mekah. Menurut orang-orang air rendaman rumput ini berkhasiat melancaran proses persalinan. Ambilah siapa tahu nanti kau perlukan!” kata ibu mertuaku waktu itu.

Rumput itu hanya setangkai dan sudah mengering. Ada butir halus seperti serbuk bunganya. Terasa kasar bila di pegang. Warnanya seperti warna setangkai padi kering, bukan kuning tetapi keabu-abuan.

Lalu mengapa Cek Imas meminta Karim meminumkan air rendaman rumput Fatimah? Bukankah itu berarti proses kelahiran anakku yang kata bidan Tuti tadi menyungsang mengalami kesukaran? Ada rasa curiga menyebul dalam benakku. Jangan-jangan permohonanku dahulu tidak sampai kepada Tuhan atau malaikat Jibril tidak menyampaikan semuanya, hanya sepotong-sepotong? Demikian pikirku menduga-duga.

Tiga hari lalu aku mendapati Cek Imas menangis.

Ngapo cak lesu nian, Cek?” tegurku melihat wanita tua itu yang menekuk muka walau tangannya masih menganyam rumpun demi rumpun batang-batang purun untuk dijadikan tikar.

“Malaikat Jibril pilih kasih?” sahutnya.

“Tahu darimana?”

“Tadi pagi ia mengejawantah dalam rezeki. Ia membagikan uang tiga ratus ribu. Istilahnya uang kompelasi BBM…”

“Bukan, kompelasi BBM, Cek! Tapi kompensasi BBM. Itu pengganti dari harga kenaikan minyak tanah yang tadinya murah sekarang jadi mahal,” kata membantu meluruskan.

“Tetapi mengapa Jibril membiarkan saja aku diberi dua ratus ribu melalui tangan orang-orang mengurusnya. Katanya aku tidak punya KTP. Uang mengurus KTP itu seratus ribu," ujar Cek Imas.

Kali ini suara Cek Ima terdengar lagi, “Minumke lagi bayu rumpu Fatimahnyo. Kalu-kalu ado menefaarnyo. Biasonyo mak itu, pengalamanku selamo ini!”

Yo, Cek!” Karim, suamiku mengikuti anjurannya.

Suara Cek Imas dan rezekinya yang hanya dua ratus ribu telah merantai pada ingatanku tentang malaikat Jibril, malaikat penyampai wahyu dan pemberi rezeki ini. Apakah ia tidak menyampaikan permohonanku yang kutipan saat ia mengejawantah menjadi layang-layang, yaitu aku ingin melahirkan anak yang banyak? Kelahirkan anak pertamaku ini terasa sangat susah. Aku seakan berada di batas siang dan malam, di batas bumi dan langit, hitam dan putih! Di batas dua antara itu, samar kulihat kelebat sayap putih melesat.

“Kaukah itu Jibril?” aku bertanya. Namun dari caranya mengejawantah aku tidak merasa itu Jibril. Aku mengenal kebiasaannya sebab sudah terlalu sering ia mengejawantah.

“Kaukah itu Isroil?” juga tidak ada jawaban, kecuali suara gaduh orang-orang yang membantu persalihanku. Mereka tampaknya sangat panik dan seperti mengkhawatirkan sesuatu. Karim tidak lagi menyeka keringat yang membucah di mukaku karena saat ini keringat malah membuncah di kening mereka masing-masing.

“Tunggu!” tukasku lantang kepada sayap putih yang berkelebat sebab aku menangkap isyarat lain dari kelebat sayap putih itu, “Aku sangat yakin Tuhan mengabulkan tiga permohonanku dahulu. Buktinya permohonan pertama telah aku dapatkan. Artinya, aku masih melalui dua fase lagi yaitu melahir anak yang banyak kemudian barulah mati dengan keadaan beriman. Sekarang aku masih berada dalam fase yang kedua.”

“Ini adalah fase terakhir!” kelebat sayap putih menjawab.

“Tidak! Tidak mungkin. Pasti ada yang tidak jujur. Permohonanku tidak disampaikan semua,” bantahku.

“Malaikat Jibril maksudmu?” kelebat sayap putih memastikan.

“Ya, mungkin dia telah menyunat pesanku. Banyak fakta yang bisa kusebutkan untuk mendukung kecurigaanku.”

“Coba tunjukkan fakta-fakta itu!”

Aku mengurai satu per satu, mulai dari uang kompensasi BBM Cek Imas yang disunat, para hakim yang menjualbelikan perkara, anggota dewan yang menjadi calo, biaya naik haji yang di-mark up sampai dengan seorang ibu rumat tangga yang kedapatan mengutil di pusat perbelanjaan yang sampai di tangan hukum malah ia diperas.

“Apa kau yakin malaikat Jibril mengejawantah menjadi sebongkah hati. Hati pengurus kompensasi BBM, hati hakim di pengadilan, hati anggota dewan yang terhormat, atau hati para birokrat dan penegak hukum?”

“Mengapa tidak!”

“Engkau lupa bahwa para malaikat tidak bisa masuk dan mengejawantah ke hati mereka!”

“Mengapa?”

“Saat ini sebagian besar rumah hati mereka dijaga anjing. Di pagar rumah hati mereka tertulis 'Beware of dog!' sedangkan di dalam rumah hati mereka dihiasi patung-patung seni yang setiap hari dilap-lap sampai licin dan mengkilat!”

“Ada anjing dan patung di hati mereka?” aku bertanya sendiri.

“Ya!”

“Apakah ada anjing atau patung juga pada pesan yang kutitipkan kepada layang-layang waktu aku kecil?”

Kelebat sayap putih itu semakin mendekat, “Layang-layangmu gimbal!”

Aku mencoba mengingat-ingat. Mencoba mencari-cari kesalahan kecil yang tidak sengaja atau karena terlupa. Kelebat sayap putih itu memberi isyarat agar aku mendengarkan percakapan orang-orang yang tengah panik membantu persalinanku.

Cubo minumkan lagi banyu rendaman itu,” kata Cek Imas.

“Ya, secara medis aku berusaha tetapi pengaruh sugesti selalu tetap ada dan pada akhirnya ketetapan Tuhanlah yang berlaku,” ujar bidan Tuti.

“Lihat, ada sisa isolatif bening yang melilit rumput Fatimah itu. Pantas dari tadi ia tidak bisa medok. Nah, sekarang lihat rumput itu mekar memenuhi ruang gelas!” kata Karim.

“Cepat, minumkan pada istrimu!” kata Cek Imas.

Kembali kurasakan Karim menegakkan kepalaku yang layu. Mulutku yang kering kini basah oleh siraman air rendaman rumput Fatimah yang telah mekar. Tiba-tiba ada sesuatu yang kurasakan menekan dalam perutku, semakin menekan, semakin berat….

“Alhamdullih, selamat! Anaknya laki-laki!” teriak bidan Tuti.

“Syukurlah!” ujar Karim.

Aku tidak melihat luapan kegembiraan yang mengembang di muka Karim, di muka bidan Tuti, dan di muka Cek Imas. Wajah mereka terlihat samar, semakin jauh, jauh sekali. Tetapi, suara-suara mereka sangat jelas. Sangat dekat! Pita suara mereka seakan menempel di gedang telingaku. Jelas, jelas sekali! Setelah merasa kelelahan yang berat kini semuanya terasa ringan, sangat ringan seakan aku melayang. Aku melayang bersama kantukku yang semakin sulit kuhadang.

Keterangan:

Tentang malaikat Jibril mengejawantah menjadi layang-layang diilhami cerpen Danarto berjudul, “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat”.

Perempuan Yang Menghitung Gerimis

KALAU tidak enggan melongok ke aliran sungai Batang Gadis yang membelah Kabupaten Mandailing Natal, kita akan menemukan sebuah gubuk kecil reot di salah satu pinggirannya. Gubuk kecil reot yang berdiri entah sekian puluh tahun lamanya itu, berada di bantaran sungai dengan latar belakang persawahan milik penduduk yang berundak-undak sampai ke kaki Bukit Barisan. Sebulan lalu, ketika pertama kali menginjakkan kaki di daerah dingin tersebut, Naibaho, seorang penduduk setempat, kuajak bertandang ke sana. Bertandang tanpa permisi. Karena ketika kami, ke sana--kebetulan hujan gerimis--gubuk itu kosong. Sepi-senyap. Hanya suara aliran sungai Batang Gadis terdengar ramah melintasi bebatuan dan lumut-lumut. Dan akar-akar ilalang yang membujur dari hulu menuju ke hilir.

Naibaho sebenarnya merasa terpaksa kuajak ke sana. Karena menurut penduduk, manusia normal dilarang mendekati, apalagi memasuki gubuk itu. Sebab pemilik gubuk adalah perempuan cantik setengah miring (gila), tapi cantik. Dari kabar turun-temurun, lebih dua puluh tahun perempuan dan gubuknya berada di pinggiran sungai Batang Gadis. Kabar lebih santer lagi, perempuan tersebut dikatakan sebagai makhluk bunian. Atau bisa disamakan dengan siluman maupun sebangsanya.

“Aku tidak akan menemanimu ke sana?” tolak Naibaho ketika aku mengajak mengajaknya ke gubuk itu. “Cari penyakit saja! Aku bisa kena sambet, tahu!”

“Ah, itu hanya takhayul, Baho. Sudahlah, sebentar saja kita ke sana. Kalau kau sudah mengantarkanku sampai ke dalam gubuk, kau boleh pergi.”

Naibaho mendelik. “Tidak, resikonya lebih berat! Kalau aku membiarkan kau sendirian di dalam gubuk, pasti akulah yang akan disalahkan penduduk ketika kau diterkam perempuan gila itu.” Dia menepiskan tanganku. Sambil bersiul diambilnya arit kecil untuk menyadap batang karet di kebunnya. “Lebih baik aku menderes karet saja!”

“Naibaho! Dengarkan dulu aku!” Kutahan langkahnya. Dia kembali mendelik. Keranjang berisi penuh ubi bakar, diletakkannya di atas bale-bale. “Pokoknya kau antar aku ke sana, dan uang ini milikmu!” Kuselipkan beberapa lembar sepuluh ribuan ke sela jari tangannya.

Naibaho akhirnya tersenyum. Tanpa disuruh, dia membocorkan rahasia bahwa isu yang beredar di kampung tidak benar sama sekali. Dia mengakui perempuan yang tinggal di pinggir sungai Batang Gadis itu memang bertingkah aneh. Atau katakanlah gila. Tapi dia tidak makhluk bunian atau siluman. Dia sama seperti yang lain: manusia normal. Hanya saja dia kelihatan kurang waras dan tidak mau bergaul dengan orang kampung. Dia selalu mendekam di situ ketika malam menjelang. Tatkala siang, gubuk akan kosong, sedangkan si perempuan entah pergi ke mana. Kerapkali dia akan mudah memunculkan diri ketika hujan gerimis. Dia akan sangat setia duduk di atas bale-bale di depan gubuknya sambil menatap gerimis. Demikian seriusnya dia menatap setiap gerimis yang jatuh dari langit, sehingga kata orang-orang dia menghitung satu demi satu tetesan air dari langit itu.

Naibaho memperjelas, si perempuan sebenarnya hidup sebatang kara. Tapi menurut kabar tetua adat, pada beberapa puluh tahun lalu, dia memiliki keluarga juga di sekitar kampung. Entah karena apa, tiba-tiba penduduk mengucilkan dan membiarkan dia membangun gubuk di pinggi sungai Batang Gadis.

“Kabar yang kudengar, dia sempat menikah dengan seorang kaya di kampung ini. Tapi seminggu kemudian dia diceraikan. Si lelaki pergi ke kota, kemudian menikah dengan perempuan berada. Dia akhirnya diusir lalu tinggal di gubuk reot itu. Kabarnya lagi, kebiasaannya duduk di atas bale-bale di depan gubuk setiap kali gerimis datang, adalah simbol penungguannya terhadap suami yang tidak bertanggungjawab. Dia menghitung satu demi satu gerimis seperti menghitung hari demi hari penungguannya.” Naibaho menutup ceritanya.

“Jadi tentang si perempuan adalah orang bunian tidak benar sama sekali, ya?” kejarku. Naibaho mengangguk.

“Ya, itu hanya dihembus-hembuskan tetua adat saja. Karena mereka tidak menginginkan pemuda-pemuda di kampung ini berbuat bejat kepadanya. Kampung ini bisa kuwalat. Terkena bencana sebab aib yang segera berkembang menjadi dosa besar. Dosa seluruh kampung.”

Aku manggut-manggut. Naibaho tertawa. Kami berdua pun akhirnya ke gubuk reot itu, kemudian menemukannya kosong-melompong. Meskipun hujan gerimis mulai turun sedemikian rapat, tetap saja si perempuan tidak kelihatan. Naibaho kasak-kusuk. Berulangkali dia mengajakku pulang, tapi cepat kucegah. Kuancam dia akan menarik kembali uang imbalan, apabila dia nekat pulang.

Hampir maghrib, perempuan itu tidak muncul juga. Aku mulai gelisah. Untuk menutupi rasa jenuh, kuambil kamera. Kufokuskan lensa ke arah hulu sungai. Naibaho yang masih melenguh tidak karuan, kutinggalkan di dalam gubuk. Entah dia mengikutiku atau tidak, aku pun tidak perduli. Aliran sungai Batang Gadis dengan suara desahan melankolisnya, membuatku semakin tenggelam ke dalam daya tarik alam.

Samar di celah-celah gerimis yang merapat, kameraku menangkap sesosok tubuh perempuan berambut panjang sedang melangkah mendekat. Aku tercekat. Segera kupanggil Naibaho. Tapi ternyata dia sudah menghilang sejak sekian menit lewat.

Perempuan itu bertambah dekat. Dia menatapku tajam. Ada aura ketidaksukaan mencuat dari kornea matanya.

Inikah perempuan itu? Inikah yang dihebohkan sebagai makhluk bunian? Duh, kuakui bahwa dia memiliki daya tarik. Meskipun bergaya laksana orang gila, namun dia menyimpan kecantikan yang memancar dari tatapannya yang magis. Diam-diam kubenarkan juga bahwa dia sebenarnya orang bunian. Bukan manusia normal seperti yang diceritakan Naibaho.

“Lamhot! Kau Lamhot yang bajingan itu? Yang meninggalkanku serupa anjing buduk?” Perempuan itu mencecarku.

“Lamhot? Bukan, bukan. Aku Siambaton. Orang kota yang datang ke mari karena mengikuti kuliah kerja nyata,” ucapku dengan suara bergetar. Aku tahu dia pasti bingung mendengarnya. Dia pasti tidak paham maksudku, seperti yang terlihat dari tatapannya yang ragu-ragu.

“Kau ingin mengganggu hidupku, ha?”

“Tidak!”

“Kau datang setelah sekian puluh tahun membuatku menderita? Membuatku menunggu seperti orang gila sambil menghitung setiap tetes gerimis. Kau memang tidak mempunyai perasaan.” Dia cepat-cepat melintas di depanku. Dia kemudian duduk di atas bale-bale di depan gubuk seraya menatap gerimis yang membesar. Perlahan azan maghrib terdengar berkumandang dari tengah kampung.

“Kau pasti Lamhot. Aku tahu dari tatapan matamu,” ucapnya seperti meyakinkan dirinya sendiri.

Aku tidak sanggup lagi membantah. Lamhot, Lamhot. Aku merasakan ada sesuatu yang asing dari nama itu. Aku merasakan bahwa nama itu amat kukenal. Begitu lengket dengan kehidupanku.

“Oh, iya! Sebentar! Aku ingat sesuatu.” Perempuan itu masuk ke dalam gubuk. Dia kemudian keluar kembali sambil menyerahkan selembar photo usang kepadaku. “Ini photomu, bukan?”

Aku terpana. Photo itu amat mirip denganku. Sebelum sempat bertanya banyak, mendadak ada sebentuk benda hangat menghantam tengkukku. Dan semua berubah gelap.

***

“Syukurlah, kau sudah sadar, Siambaton. Hampir lima hari kau koma.” Ibu memeluk kepalaku di dalam ruangan serba putih.

“Di mana aku?”

“Di rumah sakit, Sayang. Kenapa?” Ibu melepaskan pelukannya. “Lima hari lalu Naibaho menemukanmu tergeletak pingsan di pinggir sungai Batang gadis. Dia membawamu ke kampung. Kemudian mengantarkanmu ke rumah sakit di kota ini. Ah, ibu menyesal telah membiarkanmu ikut kuliah kerja nyata. Padahal tubuhmu tidak kuat. Harusnya ibu membayar nilai untuk praktek memuakkan tersebut.”

Aku terdiam. Kurogoh saku celanaku. Kukeluarkan selembar photo usang. “Ini photo siapa, Bu?” Kuangsurkan photo kepadanya.

Ibu mengernyit. Dia akhirnya tersenyum. “Ini photo ayah. Kakekmu, Siambaton. Kenapa?”

Aku tidak menjawab. Sepertinya ada desakan amat kuat yang membuatku harus berdiri dan melangkahkan kaki meninggalkan rumah sakit ini.

“Mau ke mana?” Ibu berusaha menahan langkahku.

“Aku ingin bertemu nenek.”

“Nenek?”

Aku tidak menjawab. Tubuhku sudah lenyap di balik pintu menuju kamar mayat.

Rendi Fadillah

Nurrahman

Sedekah Lepas

Cerita Pendek Karya Purhendi

Dengan bismillah kutarik nafas

Teriring niat sedekah lepas

***

KETIKA ia lahir, orang tuanya memberinya nama Langkusa. Nama itu diambil dari nama tokoh cerita rakyat yang begitu mengakar di daerahnya, Kayuagung, yaitu kisah Putri Rambut Putih. Langkusa adalah kakak kandung Putri Rambut Putih. Sang Putri mendapat julukan demikian di masyarakat, Si Rambut Putih, karena memiliki kesaktian yang khas, yaitu setiap orang yang diludahinya pasti rambut orang itu akan berubah menjadi putih semua. Selain itu, ia pun memiliki ilmu bela diri yang tinggi. Karena ilmunya yang tinggi serta kesaktiannya itulah, ia menjadi gadis yang sombong, menolak siapa pun yang mencoba melamarnya, termasuk menolak lamaran Susuhunan Palembang. Langkusa sendiri, kesaktiannya luar biasa. Ia pun mampu, seorang diri, meluluhlantakkan pasukan Susuhunan Palembang ketika pasukan itu berhasil menculik Putri Rambut Putih.

Ya, ia bernama Langkusa. Orang-orang di kampungnya memanggilnya Kusa. Lebih dikenal lagi dengan panggilan Kiyay Kusa. Bapaknya seorang petani, bekas pesirah. Pamannya, juga beberapa saudara sepupunya, dikenal sebagai duta.

Kini, Kiyay Kusa duduk bersila. Sebutir telur ayam kampung yang putih bersih, telah disiapkannya di talam, di dalam mangkuk pireks kecil, mangkuk yang juga putih bersih. Demikian juga dengan secanting beras putih, telah siap juga pada mangkuk yang sejenis. Bunga tujuh macam, berserak di dalam mangkuk putih yang lebih besar, yang berisi air dari sembilan mata air Morge Siwe. Air di mangkuk itu diambilnya dari sembilan desa di wilayah Kayuagung selama sembilan hari menjelang subuh. Setiap pagi buta, ia mengambil semangkuk kecil air untuk dibawa pulang. Begitu setiap pagi, selama sembilan pagi, pada sembilan desa atau Morge Siwe.

Pada pagi pertama, ketika ia mencari sumber air di sekitar Desa Kedaton, ada perasaan ngeri dan bergidik menyergap jantung dan tengkuknya. Maklum, di pinggiran desa ini, sejak zaman dulu, dikenal masyarakat sebagai bagian daerah gaib masa lalu yang dikenal dengan nama Negeri Silap. Dulu, sebelum jembatan Sungai Komering dibangun, ketika masih berupa jembatan gantung yang terbuat dari bilah kayu dan bambu, konon sering terlihat orang-orang dari Negeri Silap menyeberangi jembatan ini di pagi buta. Bahkan mereka turut pula belanja di pasar lama, yaitu pasar tradisional yang dulu masih berada di dekat jembatan itu. Orang akan mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang dari negeri alam gaib terutama karena mereka memiliki ciri khusus, yaitu tidak memiliki lekuk pada bibir atas di bawah hidungnya. Selain itu, biasanya tangan mereka lebih panjang, sehingga kalau menjuntai akan melebihi lututnya.

Namun kini, Kiyay Kusa, lelaki berbadan tegap dan berkumis tipis itu tidak peduli dengan kisah misteri Negeri Silap. Dalam benaknya sudah tertanam tekad bahwa ia harus berani dan lulus dalam ritual pengambilan air dari beberapa sumber air atau mata air dari sembilan desa. Air yang diambilnya boleh dari rawa-rawa, parit, sumur, sawah, atau dari mana saja yang berada di masing-masing desa itu. Dan memang, konon akan lebih bertuah jika diambilnya dari sumber mata air yang berada di belukar pinggiran kampung.

Ya, ia semakin tidak peduli dengan kengerian gaib semacam itu. Semuanya ia anggap sebagai ujian. Toh sudah banyak juga orang lain yang berhasil melakukan ritual seperti itu dan akhirnya menjadi duta yang sukses. Ya, ia pun bertekad untuk menjadi seorang duta. Ia ingin segera dapat uang banyak. Ia ingin segera punya rumah. Ia ingin segera punya mobil mewah. Ia ingin dihormati orang. Maka setiap pagi selama sembilan hari, ia mencari sumber air di sembilan desa, di wilayah Kecamatan Kota Kayuagung. Mulai dari Kedaton, Kotaraya, Kayuagung, Jua-Jua, Sidakersa, Paku, Mangunjaya, Sukadana, dan terakhir Perigi.

Talam yang berisi sebutir telur ayam, secanting beras, dan semangkuk air dari sembilan desa dengan bunga tujuh macam itu, sambil bersila, ia sodorkan ke hadapan Nyai. Perempuan delapan puluh tahunan itu menerima talam dengan segala isinya begitu takzim.

“Sedekah lepas ini kuterima. Mudah-mudahan segala usahamu nanti lancar dan berhasil. Tapi ingat, seperti orang-orang yang terdahulu, kau harus hindari pantangan-pantangannya. Jangan mintar di daerah sendiri, jangan nyakiti korban, nage-lah pada yang kelebihan. Carilah usaha yang baik-baik, yang diridoi Tuhan.” Nyai tercenung sejenak. “Ada yang lain dari jiwamu, hatimu lembut, tidak segarang namamu.”

“Ya, Nyai.” Kiyay Kusa mengangguk-angguk meski ada sedikit keraguan di benaknya. Lantas ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah amplop putih. “Pinang sirih, Nyai.”

Perempuan tua itu tidak begitu menghiraukan amplop putih yang diselipkan di bawah talam. Tangan kanannya sedikit terangkat tanda mempersilakan tamunya pulang.

Tiga hari setelah menemui Nyai, barulah ia mengadakan yasinan. Kerabat keluarga diundang. Para tetangga pun datang. Pak Lurah juga ada. Demikian halnya dengan polisi, juga ada yang diundang dan datang. Acara yasinan seperti itu merupakan bagian dari sedekah lepas. Mereka yang memiliki cukup uang, memang dianggap lebih baik mengadakan syukuran yasinan. Namun bagi mereka yang belum memiliki dana untuk acara seperti itu, cukuplah dengan membawa secanting beras, sebutir telur ayam, serta air-bunga kepada Nyai. Barulah nanti, jika telah berhasil mintar, harus mengadakan yasinan, sebagai tanda syukur serta tanda terima kasih atas doa kerabat keluarga dan tetangga. Bahkan, biasanya kerabat keluarga akan kebagian jatah hasil usaha, baik diminta maupun tidak.

“Carilah usaha yang baik, yang halal, yang diridoi Allah.” demikian antara lain Wak Haji Sobri bernasihat dalam ceramahnya. Ia kemukakan pula petikan hadis nabi dan ayat Al-Qur’an. Para undangan ber-amin setiap mendengar petuah Wak Haji Sobri yang mendoakan keberhasilan usaha si empunya hajat.

Usai ceramah singkat Wak Haji Sobri, acara pun dilanjutkan dengan yasinan. Barulah acara ditutup dengan makan bersama. Hidangan digelar pada berpuluh tampah, yaitu nampan kayu berwarna coklat yang berdiameter antara setengah sampai satu meter. Nampan kayu seperti itu memang merupakan khas Kayuagung, hasil kerajinan masyarakat sepempat. Para tamu beringsut mengambil piring-piring kecil yang berisi makanan di atas nampan kayu. Mereka berebut dengan penuh canda bagai anak-anak kecil. Ada kue-kue, pempek, model, tekwan, kemplang, juga nasi beserta lauknya. Sedangkan air minum di gelas, teh dan kopi, digeser perlahan dari tangan satu ke tangan lain hingga semuanya kebagian.

Rumah kayu berbentuk panggung itu, rumah keluarga Kiyay Kusa, baru sepi menjelang tengah malam.

Perihal Wak Haji Sobri sendiri, ia adalah mantan duta tahun 60-an. Pada masa itu, konon ia pernah mintar di Brunei, Singapura, dan Malaysia. Ketika ia pulang kampung, ia berhasil membawa uang ratusan juta rupiah. Bisa membangun rumah, turut menyumbang pembangunan masjid, membantu kegiatan warga di sekitarnya, juga bisa naik haji. Setelah itu, ia tidak mintar lagi. Insyaf. Terus mendalami agama, ceramah di berbagai tempat. Namun ia pun tetap tidak menolak ketika orang-orang yang diduga calon duta pun mengundangnya untuk ceramah. Ia cukup disegani di masyarakat. Pernah pula ia menjadi anggota dewan, baik di kabupaten maupun di provinsi.

***

Sudah setahun Kiyay Kusa meringkuk di penjara Kelas I, di Jalan Merdeka, Palembang. Hampir setiap hari ia menyesali apa yang telah diperbuatnya dulu. Ya, ia mungkin ‘kualat’ seperti yang pernah disampaikan Nyai atau kerabat keluarganya. Ia sudah diperingkatkan untuk tidak ngeratak di daerah sendiri, namun ia nekat juga karena terbujuk oleh kenalannya dari lain kampung.

“Sudahlah, Yay, ini rezeki sudah di depan mata. Kurang lebih seratus juta. Perhitungan kita sudah matang. Apa kamu mau kalau si Lelamu itu nanti didahului dilamar orang. Kudengar ada seorang keratak yang siap membelinya 30 juta.” demikian bujuk Toni Codet waktu itu, preman yang ia kenal di terminal Tanjung Raja. Sedikitnya sudah tiga kali Toni Codet masuk penjara karena kasus sejenis, perampokan. Ia dikenal dengan nama Toni Codet karena luka codet di pipi kanannya. Luka itu bekas sabetan pisau lawannya ketika berkelahi di terminal 7 Ulu Palembang beberapa tahun lalu.

“Tapi kami pantang.”

“Ah, sudahlah. Pokoknya nanti bagianmu lebih besar. Kita hanya bertiga.”

Dengan segala bujuk rayu, akhirnya ia mengikuti ajakan Toni Codet dan temannya untuk menghadang seorang toke karet di pingiran daerah Prabumulih.

Sampai akhirnya, pagi itu, di tengah perkebunan karet yang sepi, sebuah mobil open cup putih melintas. Di depan duduk dengan tenang seorang sopir dan seorang toke karet. Mereka tampak asyik bercakap-cakap. Dan ketika mobil itu keluar dari perkebunan karet, menuju jalan aspal kecil yang di kanan-kirinya penuh semak, keduanya pun masih asyik mengobrol. Barulah keduanya tersentak ketika tiba-tiba dari arah belukar, di kanan-kiri jalan, muncul dua buah sepeda motor begitu saja. Yang satu dinaiki satu orang, sedangkan motor yang satunya lagi dinaiki dua orang. Sang sopir pun berusaha menghindar, membanting stir ke pinggir jalan. Ia tersuruk di parit kecil. Dengan gesit dua pengendara motor melompat dan langsung menodongkan kecepek sambil berteriak agar orang yang ada di dalam mobil mengeluarkan uang. Motornya sendiri ia geletakkan begitu saja dalam kondisi masih menyala.

Tampaknya, hanya dengan hitungan detik, tanpa perlawanan, kedua pengendara sepeda motor itu pun berhasil merenggut sebuah tas yang berisi uang. Keduanya pun kabur begitu saja. Sementara itu, Kiyay Kusa sontak kebingungan, apalagi setelah kedua penumpang mobil itu keluar dari mobilnya dan meneriakinya perampok. Ia lantas tancap gas menyusul dua temannya yang telah kabur entah ke mana. Mungkin ke tempat yang telah mereka janjikan sebelumnya. Ia terus menancap gas, sampai di simpang jalan besar, ia injak rem motor demikian mendecit untuk menghindari tabrakan dengan mobil yang melintas di depannya. Ia tak bisa mengendalikan diri. Terguling. Mobil yang hampir ditabraknya ternyata mobil patroli polisi. Dan ia tidak begitu sadar ketika kemudian ia telah berada di rumah sakit. Dihadapannya kini ada dua orang yang tadi meneriakinya perampok, empat orang polisi, dan kedua tangannya kini telah diborgol ke ranjang tempatnya berbaring.

***

Setahun di penjara tidak memutuskan niat Kiyay Kusa untuk tidak melakukan sedekah lepas lagi. Ia keluar lebih dulu dari Toni Codet dan temannya. Ia tidak merasa mengkhianati Toni Codet yang akhirnya ditangkap berkat informasinya. Ada keberanian yang mantap dalam hatinya, entah keberanian seperti apa. Sulit ia gambarkan.

Ketika tiba di rumah, sepulang dari penjara di Palembang yang berjarak sekitar 70 kilometer dengan waktu perjalanan kurang lebih satu setengah jam, ia tetap disambut hangat oleh kerabat keluarganya. Bahkan bapaknya sendiri yang menjemputnya, masih mengeluarkan kata ‘kualat’ padanya, dengan nada agak kesal. Sedangkan ibunya sendiri memilih diam.

Dan kini, dengan keberanian yang tulus ia melupakan Lena. Tidak dendam, meskipun masih ada sedikit perasaan cinta. Apa boleh buat, pada akhirnya Lena terpikat juga oleh seorang keratak yang dulu diisukan memang akan ‘membelinya’. Ia merasa, mungkin itu sudah jodohnya.

Ya, seminggu setelah berada di rumah, Kiyay Kusa berniat untuk melakukan sedekah lepas kembali meskipun mungkin tanpa yasinan. Ia kembali mengahadap Nyai, menyodorkan sebutir telur ayam dan secanting beras. Juga mangkuk yang berisi air dari sembilan desa dengan bunga tujuh macam. Tak lupa, ia menyelipkan amplop putih di bawah nampan yang ia sodorkan.

“Mohon doa restu, Nyai, mudah-mudahan usaha saya kali ini benar-benar lancar dan berhasil.”

Kiyai Kusa mundur, tanpa menunggu komando Nyai, bahkan membiarkan perempuan tua itu terpaku penuh ketidakmengertian. Satu kata pun tidak terlontar dari mulutnya untuk petatah-petitih tamunya.

Kiyay Kusa menuruni tangga kayu rumah panggung Nyai. Senyumnya tersungging. Di hadapannya tengah berdiri seorang lelaki sesusia bapaknya dengan senyum mengembang pula, Ir. Rizal, ahli budidaya keramba, yaitu sistem perikanan terapung. Orang yang ahli budidaya perikanan ini dikenalnya di penjara sebagai penyuluh bidang budidaya perikanan bagi para narapidana yang berminat terhadap budidaya perikanan. Orang ini dikenal banyak mengembangkan sistem budidaya keramba sejak lama di Sumatera Selatan.

“Di berbagai pelosok Sumatera Selatan sudah kujelajahi dan aku merasa berhasil menerapkan ilmuku ini. Kecuali di sini, di kota kecilmu. Hanya di sinilah yang hampir tidak ada keramba di sungai maupun di lebak lebung. Sungai Komering hanya dikenal namanya saja. Tapi lihatlah di Sungai Ogan, tetangga kita, keramba berderet di mana-mana. Kau tahu, mengapa ilmuku tidak berhasil di sini dan begitu sulit menemukan keramba ikan? Atau mungkin karena di sini sudah banyak orang kaya atau setidaknya ingin menjadi kaya mendadak?” retoris Ir. Rizal sambil tersenyum. “Untuk ke depan, kau tinggal pilih, mau benar-benar hidup dan kencan dengan keramba ikan, atau mau pilih diuber-uber interpol, atau bahkan sekalian ditembak interpol di negeri tetangga?” lanjut lelaki itu dengan berbisik sambil terkekeh.

Kiyay Kusa hanya tertawa sambil meninju punggung Ir. Rizal. Tidak keras tentu. Ia tak perlu menjawab pertanyaan orang yang dikenalnya sebagai salah satu penyuluh di penjara itu. Kedua orang itu terus tertawa-tawa keluar dari gang rumah Nyai sambil sesekali saling tinju.

Dari balik pintu rumah kayunya yang panggung, Nyai mengintip kedua lelaki itu dengan masih penuh ketidakmengertian. Pipi kanannya menyembul oleh gumpalan tembakau dan pinang-sirih yang menyelip di antara keriput pipi dan gusinya yang masih utuh. Namun, mungkin untuk sekedar menghibur dirinya, ia mencoba mengangguk-angguk sambil tersenyum, seperti menemukan suatu jawaban.

Palembang, Mei-Juni 2006

Catatan :

Duta : Istilah khusus untuk orang dari daerah Kayuagung (Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan) yang biasa mencari ‘penafkahan khusus’ di daerah lain, terutama di luar negeri. Dalam bahasa Kayuagung sendiri dikenal dengan istilah keratak (perampok). Namun masyarakat menilai bahwa seorang duta/keratak tidak bisa disejajarkan dengan preman atau perampok pada umumnya. Di samping mereka banyak beroperasi di luar negeri, konon mereka pun pantang menyakiti/ menganiaya korbannya. Di Singapura dan Malaysia, menurut data Interpol, para duta dikenal dengan julukan Nobel Wood atau Gang Nobel Wood.

Kecepek : Senjata api rakitan masyarakat/tradisional yang biasanya digunakan untuk berburu babi/binatang lainnya, baik di hutan maupun di ladang. Namun kemudian senjata ini sering disalahgunakan orang-orang tertentu, terutama untuk melakukan kejahatan.

Kemplang : Salah satu jenis kerupuk khas daerah Palembang/Sumatera Selatan. Ada yang digoreng dan ada yang dipanggang. Bahan utamanya dari tepung terigu/sagu dan ikan.

Keramba : Sistem perikanan terapung (biasanya di danau, sungai, maupun rawa yang sedang pasang. Keramba biasanya dibuat dari bilah-bilah bambu yang dibentuk kotak sedemikian rupa. Ukurannya bervariasi, kurang lebih berukuran sekitar panjang 2 m, lebar 1,5 m, dan tinggi 1,5 m. Di dalam keramba inilah dibudidayakan ikan.

Kiyay : Panggilan khusus untuk seorang lelaki dewasa yang dianggap lebih tua/ dituakan.

Lebak lebung : Sistem budidaya perairan yang memanfaatkan lahan rawa atau sungai (lebak dan lebung), baik untuk pertanian maupun perikanan.

Mintar : Proses beroperasinya seorang duta.

Morge Siwe : Sembilan desa/kampung, yang meliputi Kayuagung, Jua-Jua, Kedaton, Kotaraya, Sidakersa, Paku, Mangunjaya, Sukadana, dan Perigi.

Nage : Bermakna ‘menagih’, yaitu menagih ‘zakat’ atau ‘hutang’ (versi para duta), terhadap orang kaya yang kikir atau orang kaya non-Muslim. Pada kenyataannya istilah ini digunakan para duta sekedar ‘dalih’ dalam melakukan aksinya.

Ngeratak : Merampok

Nyai : Makna sebenarnya adalah ‘kakek’ atau ‘nenek’. Namun di masyarakat Kayuagung, sebutan/panggilan khusus ini juga ditujukan kepada orang yang dianggap memiliki ilmu mistis atau orang yang dianggap sebagai sesepuh/ dituakan.

Pempek, model, tekwan : Beberapa jenis panganan khas yang terdapat di Palembang/ Sumatera Selatan. Bahan utamanya dari tepung terigu/sagu dan ikan.

Pesirah : Setaraf kepala desa tempo dulu. Orang yang dijadikan pesirah biasanya yang memiliki ilmu pengetahuan atau kekayaan lebih, memiliki wibawa, disegani masyarakat, atau masih kerabat keluarga pejabat tertentu.

Sedekah lepas : Ritual khusus yang dilakukan oleh para duta/keratak sebelum mereka berangkat mintar.

Toke karet : Sebutan/istilah khusus bagi seseorang yang memiliki lahan karet yang luas dan memiliki banyak uang dari hasil penyadapan getah karetnya.