Cerita Pendek Karya Solehun Mushadin
BAGI pemilik kerambah ikan di sepanjang Sungai Mudik, hari ini adalah hari paling menakutkan. Bukan karena mau kiamat. Juga bukan karena kebetulan hari ini tanggal 11 September, yang terlanjur diklaim oleh George Walker Bush dan sekutunya sebagai hari ancaman bom Osama Bin Laden. Tapi ketakutan itu semata-mata karena hari ini merupakan batas terakhir toleransi aparat untuk mengizinkan kerambah ikan mengapung di pinggiran Sungai Mudik. Aparat akan membongkar paksa jika sampai jam lima sore nanti kerambah itu masih menghiasi sungai. Pemiliknya bakal ditangkap dan diproses secara hukum.
Hari ini aku benar-benar bingung. Tak tahu mesti berbuat apa. Pikiran pun mendadak buntu. Padahal pada saat ini warga pemilik kerambah ikan, telah berkumpul di rumah knock-down-ku. Mereka sudah sangat gusar. Mereka menuntutku segera berinisiatif. Segera melakukan tindakan penyelamatan. Negosiasi perpanjangan waktu toleransi kek! Mendatangi wakil rakyat untuk minta perlindungan kek! Atau dari sekarang, merancang aksi penghadangan aparat! Kita harus segera berbuat sesuatu demi periuk-nasi kita! Jujur. Setelah Tuhan, kerambah ikan segala-galanya bagi kita. Kita harus pertahankan kerambah ikan itu sampai titik darah penghabisan! Begitulah, inisiatif justru berhamburan dari mulut mereka dan melabrak kepongahanku.
Naluri dan rasa tanggung jawabku sebagai Ketua Serikat Petani Kerambah Ikan Sungai Mudik mendadak bangkit begitu masalah kerambah ikan dikaitkan dengan masalah periuk nasi. Aku kembali tersadar, kalau usaha kerambah ikan memang telah menjadi urat nadi ekonomi masyarakat sekitar Sungai Mudik. Tercatat dalam buku induk perserikatanku, ada 600 kepala keluarga yang menggantungkan hidup pada usaha kerambah ini dengan bermacam-macam ikan peliharaannya. Ada ikan mas, patin, gurami, juga lele.
Mereka benar-benar telah menyatu dengan usaha ini. Berkerambah ikan telah mereka jalani selama bertahun-tahun. Hasil kerambahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena usaha ini, anak-anak mereka tidak kelaparan. Juga tidak mengalami gizi buruk. Bahkan anak-anak mereka sempat ditamatkan sekolah, meski sebatas SMP.
Begitulah aku memahami kerambah ikan dan penduduk di sekitar Sungai Mudik. Pemahaman itu menyeretku pada keputusan harus segera melakukan sesuatu. Aku harus berjuang menyelamatkan nasib mereka. Juga kerambah ikan itu. Aku tak mungkin berdiam diri. Rasanya berdosa. Juga pasti masuk neraka, jika selaku ketua perserikatan, aku tak melakukannya.
Asap Jamboe Bol mengepul tebal dari lorong mulutku. Mereka tahu, itu pertanda semangatku mulai hidup. Mereka tersenyum renyah. Sejurus mereka mengusap senyumnya lalu diam, menanti buah pikiranku. “Negosiasi tak mungkin lagi, kawan-kawan. Seribu kali negosiasi kita lakukan, seribu kali pula kepala daerah berujar, 'tidak ada kompromi'. Sebab yang ada di otaknya kerambah ikan itu penuh dengan masalah. Merusak pemandangan. Mencemari lingkungan. Mengganggu lalu lintas sungai. Itulah yang dapat aku simpulkan dari berapa kali menghadapnya selama ini.” Begitulah aku mencoba meyakinkan kawan-kawan. Negosiasi bukan langkah yang tepat. Tiada guna.
“Tapi penilaian itu salah. Lagian kerambah kita justru memperindah pemandangan. Lagian bentuknya yang mirip balok terapung dan berjejer di sepanjang bibir sungai, justru dapat menjadi objek wisata air. Lagian telah beberapa kali turis luar negeri melancong ke sini, sekadar untuk melihat-lihat kerambah ikan kita. Lagian bahan dan ukuran masing-masing kerambah kita sama sehingga terlihat rapi. Lagian semua terbuat dari bambu dengan tinggi 3 meter, lebar 3 meter, dan panjang 5 meter. Lagian, terus di mana letak alasannya bahwa kerambah kita merusak pemandangan?” Pertanyaan penuh nada heran itu meloncat dari Sudin. Di tengah kami, pemilik sepuluh kerambah ini sering disapa Pak Lagian. Ya tadi, karena selalu menyebut “lagian” saat berbicara. Sudin sangat tidak setuju jika kerambah ikan dikatakan merusak pemandangan. Dalam benaknya, tidak mungkin turis tertarik datang ke sini kalau kerambah-kerambah itu tidak memiliki nilai wisata.
“Saya sekata dengan Pak Lagian, eh sory, Pak Sudin. Tidak benar kerambah merusak pemandangan. Itu mengada-ada. Tidak masuk akal. Bagiku, kerambah juga tidak mencemari lingkungan. Memangnya limbah apa yang ditimbulkan oleh kerambah? Limbah kimia, mustahil! Sebab kerambah kita tidak bersentuhan dengan bahan kimia. Pakan yang kita gunakan juga tidak tercampur zat kimia.” Kali ini pikiran pembelaan terlontar dari Jamalat.
“Sudahlah. Jangan digubris ocehan mereka. Aku malah curiga kalau kita mau dikambing-hitamkan. Dalam sejarah tidak pernah yang namanya ikan mencemari lingkungan. Yang ada malah lingkungan mencemari ikan. Kalian ingat tidak kejadian lima tahun lalu. Semua ikan kita mati karena air sungai teraliri limbah kimia. Waktu itu kita tahu persis kalau limbah itu berasal dari perusahaan besar di hulu sungai. Limbah itu sengaja di buang ke sungai oleh pihak perusahaan. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk menekan biaya produksi dan memperbesar keuntungan perusahaan. Tapi anehnya, pejabat dan pemilik perusahaan itu malah dengan enteng menyebut itu sebagai bentuk ketidaksengajaan. Kita saat itu menuntut ganti rugi, tapi kandas. Pejabat buru-buru mencegahnya. Katanya, tuntutan ganti rugi tidak layak disampaikan mengingat limbah kimia yang mengaliri sungai itu tidak ada unsur kesengajaan perusahaan!” seru Kamsir menerka motif di balik polemik.
Aku diam seribu bahasa ketika Sudin, Jamalat, dan Kamsir secara giliran mengutarakan pikirannya. Aku diam bukan karena tidak bisa mengikuti alurnya. Atau bukan tidak setuju. Aku diam karena aku mengaminkan kebenarkan tuturan mereka.
“Aku juga sejalan dengan pikiran yang barusan saudara-saudara utarakan. Memang semua yang dituduhkan atas kerambah kita tidaklah benar. Termasuk jika kerambah kita dinilai mengganggu lalu lintas sungai. Sungai Mudik itu luasnya 1000 meter. Sedangkan kerambah kita hanya makan tempat 3 meter dari bibir sungai. Kalaupun lebar kerambah di lajur Barat dan lajur Timur sungai itu digabung, hanya butuh tempat 6 meter. Lebar itu sama sekali tidak mengganggu lalu lintas sungai. Kerambah itu juga tidak kita pasang pada tempat-tempat umum. Tidak ada di pemandian penduduk, juga tidak ada di pelabuhan speedboat atau tongkang.” Aku kembali bersemangat menunjukkan bahwa semua tuduhan negatif seputar keberadaan kerambah ikan di Sungai Mudik tidaklah benar.
Terlihat olehku semangat perlawanan 600 orang pemilik kerambah ikan kini kian membara. Amarah mereka benar-benar tersulut begitu tahu alasan penggusuran kerambah hanya akal-akalan semata. Tanpa komando, ratusan tangan mereka terlihat serempak mengepal menyodok langit. Ratusan kaki pun dihentak kuat menginjak perut bumi. Aku tahu, itu isyarat mereka. Mereka ingin aku segera memimpin gerakan perlawanan.
“Saudara-saudara, kita tidak perlu lagi ke DPRD. Sia-sia saja. Sejak terdengar rencana bakal ada penggusuran, empat bulan lalu, pengurus perserikatan sudah empat kali ke sana. Mengadukan nasib kita. Tapi sampai saat ini DPRD tidak kunjung berbuat apapun. Aspirasi kita hanya ditampung, selanjutnya mungkin dibuang ke keranjang sampah. Tidak pernah ditindaklanjuti. Wakil rakyat itu jelas-jelas tidak peduli lagi dengan nasib rakyat kecil seperti kita. Mereka telah lupa asalnya dari mana. Padahal langit-bumi saja tahu kalau mereka jadi anggota DPRD karena kita.”
Aku benar-benar marah kepada wakil rakyat yang tak mau memperjuangkan nasib kami, pemilik kerambah ikan. Aku tidak ingin waktu yang tersisa menjelang penggusuran terbuang sia-sia karena kembali mendatangi DPRD.
“Lantas apa yang mesti kita lakukan?” tanya Dulsalam semangat. Sejenak kuterdiam. Kulirik jam Seiko-5 di tangan kiriku. Sudah pukul 4 sore.
“Kita harus segera bertindak!” seru Mat Amin sembari meninju dinding papan rumahku. “Apa pun yang ketua instruksikan, kami akan menjalankan dengan senang hati,” sambungnya.
Aku tersenyum tipis mendengarnya. Aku tersenyum karena mereka yang hadir di sini penuh dengan loyalitas. “Baik saudara-saudara. Demi periuk-nasi kita. Demi anak-anak kita. Kita tidak rela kerambah ikan itu dibongkar. Kita pertahankan sampai titik darah penghabisan!” suaraku lantang, menggelegar, bak petir di siang bolong.
“Setuju! Setuju!” Terdengar koor kesepakatan begitu riuh. Dari ratusan kerambah yang jaraknya hanya 20 meter dari rumahku, terdengar suara geleparan yang tak kalah riuhnya. Ikan-ikan dalam kerambah itu rupanya tak ingin ketinggalan menyatakan dukungannya. Dia tidak ingin kerambahnya dibongkar. Dia seakan ingin bergabung dengan para majikannya. Ingin memperkuat pertahanan.
“Sekarang, mari kita segera menuju pinggiran sungai. Kita bentuk barisan ber-sap membelakangi kerambah. Buat 6 sap, masing-masing sap seratus orang. Untuk jaga-jaga dan seandainya nanti diperlukan, masing-masing memegang pentungan kayu balam. Kayu itu dapat diambil sekarang di samping rumahku.”
Instrusiku langsung dikerjakan. Satu per satu mereka mengambil kayu sepanjang 2 meter. Kayu itu sisa potongan patok kerambah yang kukumpulkan dari anggota. Kayu itu sendiri tadinya akan kujual. Uangnya akan dijadikan modal tambahan koperasi perserikatan. Tapi kayu itu sampai saat ini belum sempat terjual. Mungkin takdir, mungkin kebetulan saja. Potongan kayu itu kini harus jadi alat perlawanan kami.
Belum selesai kami mengambil kayu pentungan, tiba-tiba terdengar suara sirene dari 20 kepala mobil truk bermerk Hino. Mobil itu lebih dulu dari kami menuju pinggiran sungai. Sempat terhitung olehku setiap satu truk memuntahkan 40 orang. 10 orang bersenjata sangkur dan pentungan, 30 orang bersenjata api laras panjang. Mereka lebih cepat menguasai lapangan. Mereka begitu cekatan mengambil alih strategi yang bakal kami gunakan. Mereka seakan sudah sangat terlatih untuk mengendus situasi yang bakal terjadi di medan perang.
Kami bengong. Kami masih kocar-kacir. Kami benar-benar kehilangan strategi perlawanan. Kami saling bertatapan nanar. Kami bimbang. Kami mesti diam di tempat atau langsung menyerang.
Aku sangat sadar kalau sampai menyerang, kami akan tunggang-langgang. Tapi aku juga sadar, kalau sampai menyerah berarti hidup kami akan mati. Mereka akan mengangkat dan menghancurkan kerambah-kerambah itu. Mereka akan mengakhiri tumpuan hidup kami. Mereka akan menjungkir balikkan periuk-nasi kami. Mereka akan menyuramkan hidup anak-anak kami.
Tidak. Mereka tidak boleh menghancurkan kerambah-kerambah itu. Mereka tidak boleh memporak-porandakan hidup kami. Kami harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Meski harus mati, kami tidak gentar. Karena mati kami adalah mati yang punya arti. Mati demi perjuangan mempertahankan hidup.
“Serbu!” Perintah itu bukan keluar dari mulutku. Rupanya mata nanar kami, puluhan pentungan kami, telah memikat komandan mereka untuk mendului perang terbuka. Mereka merangsek. Kami melawan. Mereka menghunuskan pisau. Kami meninju. Mereka memuntahkan peluru. Kami mementungi dengan kayu.
Satu per satu dari kami telah berebut mengakhiri nafas. Entah disengaja atau tidak, aku sendiri justru diberi kesempatan bernafas lebih panjang. Mereka ingin aku bisa melihat akhir dari sebuah perjuangan. Mereka ingin aku melihat nasib tragis teman-teman seperjuangan. Benar, di tengah redup sinar mata, aku saksikan bagaimana teman-temanku yang telah terkulai mati dan bercucuran darah diseret dan diceburkan ke pinggiran sungai.
Masih dari balik redup pandangan mataku dan tarikan sengal nafasku, kutahu darah kawan-kawanku telah memerahkan dan menganyirkan air sungai. Terlihat juga olehku, selisik bambu kerambah ikan di pinggiran itu lepas tercerai-berai, mungkin karena tak kuasa berendam darah anyir manusia. Lalu, ikan-ikan dalam kerambah itu, terlihat mendadak mati. Ah, mungkin dia tak lagi kuasa menahan duka atas kematian tuan-tuannya.
“Kini giliranmu untuk menyusul mereka, ketua konyol! Tapi sebelum nyawamu benar-benar terbang dan tidak sampai meradang penasaran, akan kukatakan apa yang terjadi sebenarnya di balik peristiwa ini. Ini semua adalah hukuman bagi kalian karena telah terlanjur tahu dan terlalu usil dengan persoalan limbah perusahaan. Bagi kami, persoalan limbah itu adalah keuntungan sehingga lebih berharga dari apa pun, termasuk nyawa kalian.”
Suara berwibawa itu terdengar samar olehku. Saat itu mataku tak sempat menelanjangi tubuh pemilik suara itu. Mataku kalah cepat dengan suara brondongan senapan yang berhasil menghilangkan kenanganku akan teman-teman dan kerambah ikan itu.