Perempuan Yang Menghitung Gerimis

KALAU tidak enggan melongok ke aliran sungai Batang Gadis yang membelah Kabupaten Mandailing Natal, kita akan menemukan sebuah gubuk kecil reot di salah satu pinggirannya. Gubuk kecil reot yang berdiri entah sekian puluh tahun lamanya itu, berada di bantaran sungai dengan latar belakang persawahan milik penduduk yang berundak-undak sampai ke kaki Bukit Barisan. Sebulan lalu, ketika pertama kali menginjakkan kaki di daerah dingin tersebut, Naibaho, seorang penduduk setempat, kuajak bertandang ke sana. Bertandang tanpa permisi. Karena ketika kami, ke sana--kebetulan hujan gerimis--gubuk itu kosong. Sepi-senyap. Hanya suara aliran sungai Batang Gadis terdengar ramah melintasi bebatuan dan lumut-lumut. Dan akar-akar ilalang yang membujur dari hulu menuju ke hilir.

Naibaho sebenarnya merasa terpaksa kuajak ke sana. Karena menurut penduduk, manusia normal dilarang mendekati, apalagi memasuki gubuk itu. Sebab pemilik gubuk adalah perempuan cantik setengah miring (gila), tapi cantik. Dari kabar turun-temurun, lebih dua puluh tahun perempuan dan gubuknya berada di pinggiran sungai Batang Gadis. Kabar lebih santer lagi, perempuan tersebut dikatakan sebagai makhluk bunian. Atau bisa disamakan dengan siluman maupun sebangsanya.

“Aku tidak akan menemanimu ke sana?” tolak Naibaho ketika aku mengajak mengajaknya ke gubuk itu. “Cari penyakit saja! Aku bisa kena sambet, tahu!”

“Ah, itu hanya takhayul, Baho. Sudahlah, sebentar saja kita ke sana. Kalau kau sudah mengantarkanku sampai ke dalam gubuk, kau boleh pergi.”

Naibaho mendelik. “Tidak, resikonya lebih berat! Kalau aku membiarkan kau sendirian di dalam gubuk, pasti akulah yang akan disalahkan penduduk ketika kau diterkam perempuan gila itu.” Dia menepiskan tanganku. Sambil bersiul diambilnya arit kecil untuk menyadap batang karet di kebunnya. “Lebih baik aku menderes karet saja!”

“Naibaho! Dengarkan dulu aku!” Kutahan langkahnya. Dia kembali mendelik. Keranjang berisi penuh ubi bakar, diletakkannya di atas bale-bale. “Pokoknya kau antar aku ke sana, dan uang ini milikmu!” Kuselipkan beberapa lembar sepuluh ribuan ke sela jari tangannya.

Naibaho akhirnya tersenyum. Tanpa disuruh, dia membocorkan rahasia bahwa isu yang beredar di kampung tidak benar sama sekali. Dia mengakui perempuan yang tinggal di pinggir sungai Batang Gadis itu memang bertingkah aneh. Atau katakanlah gila. Tapi dia tidak makhluk bunian atau siluman. Dia sama seperti yang lain: manusia normal. Hanya saja dia kelihatan kurang waras dan tidak mau bergaul dengan orang kampung. Dia selalu mendekam di situ ketika malam menjelang. Tatkala siang, gubuk akan kosong, sedangkan si perempuan entah pergi ke mana. Kerapkali dia akan mudah memunculkan diri ketika hujan gerimis. Dia akan sangat setia duduk di atas bale-bale di depan gubuknya sambil menatap gerimis. Demikian seriusnya dia menatap setiap gerimis yang jatuh dari langit, sehingga kata orang-orang dia menghitung satu demi satu tetesan air dari langit itu.

Naibaho memperjelas, si perempuan sebenarnya hidup sebatang kara. Tapi menurut kabar tetua adat, pada beberapa puluh tahun lalu, dia memiliki keluarga juga di sekitar kampung. Entah karena apa, tiba-tiba penduduk mengucilkan dan membiarkan dia membangun gubuk di pinggi sungai Batang Gadis.

“Kabar yang kudengar, dia sempat menikah dengan seorang kaya di kampung ini. Tapi seminggu kemudian dia diceraikan. Si lelaki pergi ke kota, kemudian menikah dengan perempuan berada. Dia akhirnya diusir lalu tinggal di gubuk reot itu. Kabarnya lagi, kebiasaannya duduk di atas bale-bale di depan gubuk setiap kali gerimis datang, adalah simbol penungguannya terhadap suami yang tidak bertanggungjawab. Dia menghitung satu demi satu gerimis seperti menghitung hari demi hari penungguannya.” Naibaho menutup ceritanya.

“Jadi tentang si perempuan adalah orang bunian tidak benar sama sekali, ya?” kejarku. Naibaho mengangguk.

“Ya, itu hanya dihembus-hembuskan tetua adat saja. Karena mereka tidak menginginkan pemuda-pemuda di kampung ini berbuat bejat kepadanya. Kampung ini bisa kuwalat. Terkena bencana sebab aib yang segera berkembang menjadi dosa besar. Dosa seluruh kampung.”

Aku manggut-manggut. Naibaho tertawa. Kami berdua pun akhirnya ke gubuk reot itu, kemudian menemukannya kosong-melompong. Meskipun hujan gerimis mulai turun sedemikian rapat, tetap saja si perempuan tidak kelihatan. Naibaho kasak-kusuk. Berulangkali dia mengajakku pulang, tapi cepat kucegah. Kuancam dia akan menarik kembali uang imbalan, apabila dia nekat pulang.

Hampir maghrib, perempuan itu tidak muncul juga. Aku mulai gelisah. Untuk menutupi rasa jenuh, kuambil kamera. Kufokuskan lensa ke arah hulu sungai. Naibaho yang masih melenguh tidak karuan, kutinggalkan di dalam gubuk. Entah dia mengikutiku atau tidak, aku pun tidak perduli. Aliran sungai Batang Gadis dengan suara desahan melankolisnya, membuatku semakin tenggelam ke dalam daya tarik alam.

Samar di celah-celah gerimis yang merapat, kameraku menangkap sesosok tubuh perempuan berambut panjang sedang melangkah mendekat. Aku tercekat. Segera kupanggil Naibaho. Tapi ternyata dia sudah menghilang sejak sekian menit lewat.

Perempuan itu bertambah dekat. Dia menatapku tajam. Ada aura ketidaksukaan mencuat dari kornea matanya.

Inikah perempuan itu? Inikah yang dihebohkan sebagai makhluk bunian? Duh, kuakui bahwa dia memiliki daya tarik. Meskipun bergaya laksana orang gila, namun dia menyimpan kecantikan yang memancar dari tatapannya yang magis. Diam-diam kubenarkan juga bahwa dia sebenarnya orang bunian. Bukan manusia normal seperti yang diceritakan Naibaho.

“Lamhot! Kau Lamhot yang bajingan itu? Yang meninggalkanku serupa anjing buduk?” Perempuan itu mencecarku.

“Lamhot? Bukan, bukan. Aku Siambaton. Orang kota yang datang ke mari karena mengikuti kuliah kerja nyata,” ucapku dengan suara bergetar. Aku tahu dia pasti bingung mendengarnya. Dia pasti tidak paham maksudku, seperti yang terlihat dari tatapannya yang ragu-ragu.

“Kau ingin mengganggu hidupku, ha?”

“Tidak!”

“Kau datang setelah sekian puluh tahun membuatku menderita? Membuatku menunggu seperti orang gila sambil menghitung setiap tetes gerimis. Kau memang tidak mempunyai perasaan.” Dia cepat-cepat melintas di depanku. Dia kemudian duduk di atas bale-bale di depan gubuk seraya menatap gerimis yang membesar. Perlahan azan maghrib terdengar berkumandang dari tengah kampung.

“Kau pasti Lamhot. Aku tahu dari tatapan matamu,” ucapnya seperti meyakinkan dirinya sendiri.

Aku tidak sanggup lagi membantah. Lamhot, Lamhot. Aku merasakan ada sesuatu yang asing dari nama itu. Aku merasakan bahwa nama itu amat kukenal. Begitu lengket dengan kehidupanku.

“Oh, iya! Sebentar! Aku ingat sesuatu.” Perempuan itu masuk ke dalam gubuk. Dia kemudian keluar kembali sambil menyerahkan selembar photo usang kepadaku. “Ini photomu, bukan?”

Aku terpana. Photo itu amat mirip denganku. Sebelum sempat bertanya banyak, mendadak ada sebentuk benda hangat menghantam tengkukku. Dan semua berubah gelap.

***

“Syukurlah, kau sudah sadar, Siambaton. Hampir lima hari kau koma.” Ibu memeluk kepalaku di dalam ruangan serba putih.

“Di mana aku?”

“Di rumah sakit, Sayang. Kenapa?” Ibu melepaskan pelukannya. “Lima hari lalu Naibaho menemukanmu tergeletak pingsan di pinggir sungai Batang gadis. Dia membawamu ke kampung. Kemudian mengantarkanmu ke rumah sakit di kota ini. Ah, ibu menyesal telah membiarkanmu ikut kuliah kerja nyata. Padahal tubuhmu tidak kuat. Harusnya ibu membayar nilai untuk praktek memuakkan tersebut.”

Aku terdiam. Kurogoh saku celanaku. Kukeluarkan selembar photo usang. “Ini photo siapa, Bu?” Kuangsurkan photo kepadanya.

Ibu mengernyit. Dia akhirnya tersenyum. “Ini photo ayah. Kakekmu, Siambaton. Kenapa?”

Aku tidak menjawab. Sepertinya ada desakan amat kuat yang membuatku harus berdiri dan melangkahkan kaki meninggalkan rumah sakit ini.

“Mau ke mana?” Ibu berusaha menahan langkahku.

“Aku ingin bertemu nenek.”

“Nenek?”

Aku tidak menjawab. Tubuhku sudah lenyap di balik pintu menuju kamar mayat.