Sedekah Lepas

Cerita Pendek Karya Purhendi

Dengan bismillah kutarik nafas

Teriring niat sedekah lepas

***

KETIKA ia lahir, orang tuanya memberinya nama Langkusa. Nama itu diambil dari nama tokoh cerita rakyat yang begitu mengakar di daerahnya, Kayuagung, yaitu kisah Putri Rambut Putih. Langkusa adalah kakak kandung Putri Rambut Putih. Sang Putri mendapat julukan demikian di masyarakat, Si Rambut Putih, karena memiliki kesaktian yang khas, yaitu setiap orang yang diludahinya pasti rambut orang itu akan berubah menjadi putih semua. Selain itu, ia pun memiliki ilmu bela diri yang tinggi. Karena ilmunya yang tinggi serta kesaktiannya itulah, ia menjadi gadis yang sombong, menolak siapa pun yang mencoba melamarnya, termasuk menolak lamaran Susuhunan Palembang. Langkusa sendiri, kesaktiannya luar biasa. Ia pun mampu, seorang diri, meluluhlantakkan pasukan Susuhunan Palembang ketika pasukan itu berhasil menculik Putri Rambut Putih.

Ya, ia bernama Langkusa. Orang-orang di kampungnya memanggilnya Kusa. Lebih dikenal lagi dengan panggilan Kiyay Kusa. Bapaknya seorang petani, bekas pesirah. Pamannya, juga beberapa saudara sepupunya, dikenal sebagai duta.

Kini, Kiyay Kusa duduk bersila. Sebutir telur ayam kampung yang putih bersih, telah disiapkannya di talam, di dalam mangkuk pireks kecil, mangkuk yang juga putih bersih. Demikian juga dengan secanting beras putih, telah siap juga pada mangkuk yang sejenis. Bunga tujuh macam, berserak di dalam mangkuk putih yang lebih besar, yang berisi air dari sembilan mata air Morge Siwe. Air di mangkuk itu diambilnya dari sembilan desa di wilayah Kayuagung selama sembilan hari menjelang subuh. Setiap pagi buta, ia mengambil semangkuk kecil air untuk dibawa pulang. Begitu setiap pagi, selama sembilan pagi, pada sembilan desa atau Morge Siwe.

Pada pagi pertama, ketika ia mencari sumber air di sekitar Desa Kedaton, ada perasaan ngeri dan bergidik menyergap jantung dan tengkuknya. Maklum, di pinggiran desa ini, sejak zaman dulu, dikenal masyarakat sebagai bagian daerah gaib masa lalu yang dikenal dengan nama Negeri Silap. Dulu, sebelum jembatan Sungai Komering dibangun, ketika masih berupa jembatan gantung yang terbuat dari bilah kayu dan bambu, konon sering terlihat orang-orang dari Negeri Silap menyeberangi jembatan ini di pagi buta. Bahkan mereka turut pula belanja di pasar lama, yaitu pasar tradisional yang dulu masih berada di dekat jembatan itu. Orang akan mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang dari negeri alam gaib terutama karena mereka memiliki ciri khusus, yaitu tidak memiliki lekuk pada bibir atas di bawah hidungnya. Selain itu, biasanya tangan mereka lebih panjang, sehingga kalau menjuntai akan melebihi lututnya.

Namun kini, Kiyay Kusa, lelaki berbadan tegap dan berkumis tipis itu tidak peduli dengan kisah misteri Negeri Silap. Dalam benaknya sudah tertanam tekad bahwa ia harus berani dan lulus dalam ritual pengambilan air dari beberapa sumber air atau mata air dari sembilan desa. Air yang diambilnya boleh dari rawa-rawa, parit, sumur, sawah, atau dari mana saja yang berada di masing-masing desa itu. Dan memang, konon akan lebih bertuah jika diambilnya dari sumber mata air yang berada di belukar pinggiran kampung.

Ya, ia semakin tidak peduli dengan kengerian gaib semacam itu. Semuanya ia anggap sebagai ujian. Toh sudah banyak juga orang lain yang berhasil melakukan ritual seperti itu dan akhirnya menjadi duta yang sukses. Ya, ia pun bertekad untuk menjadi seorang duta. Ia ingin segera dapat uang banyak. Ia ingin segera punya rumah. Ia ingin segera punya mobil mewah. Ia ingin dihormati orang. Maka setiap pagi selama sembilan hari, ia mencari sumber air di sembilan desa, di wilayah Kecamatan Kota Kayuagung. Mulai dari Kedaton, Kotaraya, Kayuagung, Jua-Jua, Sidakersa, Paku, Mangunjaya, Sukadana, dan terakhir Perigi.

Talam yang berisi sebutir telur ayam, secanting beras, dan semangkuk air dari sembilan desa dengan bunga tujuh macam itu, sambil bersila, ia sodorkan ke hadapan Nyai. Perempuan delapan puluh tahunan itu menerima talam dengan segala isinya begitu takzim.

“Sedekah lepas ini kuterima. Mudah-mudahan segala usahamu nanti lancar dan berhasil. Tapi ingat, seperti orang-orang yang terdahulu, kau harus hindari pantangan-pantangannya. Jangan mintar di daerah sendiri, jangan nyakiti korban, nage-lah pada yang kelebihan. Carilah usaha yang baik-baik, yang diridoi Tuhan.” Nyai tercenung sejenak. “Ada yang lain dari jiwamu, hatimu lembut, tidak segarang namamu.”

“Ya, Nyai.” Kiyay Kusa mengangguk-angguk meski ada sedikit keraguan di benaknya. Lantas ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah amplop putih. “Pinang sirih, Nyai.”

Perempuan tua itu tidak begitu menghiraukan amplop putih yang diselipkan di bawah talam. Tangan kanannya sedikit terangkat tanda mempersilakan tamunya pulang.

Tiga hari setelah menemui Nyai, barulah ia mengadakan yasinan. Kerabat keluarga diundang. Para tetangga pun datang. Pak Lurah juga ada. Demikian halnya dengan polisi, juga ada yang diundang dan datang. Acara yasinan seperti itu merupakan bagian dari sedekah lepas. Mereka yang memiliki cukup uang, memang dianggap lebih baik mengadakan syukuran yasinan. Namun bagi mereka yang belum memiliki dana untuk acara seperti itu, cukuplah dengan membawa secanting beras, sebutir telur ayam, serta air-bunga kepada Nyai. Barulah nanti, jika telah berhasil mintar, harus mengadakan yasinan, sebagai tanda syukur serta tanda terima kasih atas doa kerabat keluarga dan tetangga. Bahkan, biasanya kerabat keluarga akan kebagian jatah hasil usaha, baik diminta maupun tidak.

“Carilah usaha yang baik, yang halal, yang diridoi Allah.” demikian antara lain Wak Haji Sobri bernasihat dalam ceramahnya. Ia kemukakan pula petikan hadis nabi dan ayat Al-Qur’an. Para undangan ber-amin setiap mendengar petuah Wak Haji Sobri yang mendoakan keberhasilan usaha si empunya hajat.

Usai ceramah singkat Wak Haji Sobri, acara pun dilanjutkan dengan yasinan. Barulah acara ditutup dengan makan bersama. Hidangan digelar pada berpuluh tampah, yaitu nampan kayu berwarna coklat yang berdiameter antara setengah sampai satu meter. Nampan kayu seperti itu memang merupakan khas Kayuagung, hasil kerajinan masyarakat sepempat. Para tamu beringsut mengambil piring-piring kecil yang berisi makanan di atas nampan kayu. Mereka berebut dengan penuh canda bagai anak-anak kecil. Ada kue-kue, pempek, model, tekwan, kemplang, juga nasi beserta lauknya. Sedangkan air minum di gelas, teh dan kopi, digeser perlahan dari tangan satu ke tangan lain hingga semuanya kebagian.

Rumah kayu berbentuk panggung itu, rumah keluarga Kiyay Kusa, baru sepi menjelang tengah malam.

Perihal Wak Haji Sobri sendiri, ia adalah mantan duta tahun 60-an. Pada masa itu, konon ia pernah mintar di Brunei, Singapura, dan Malaysia. Ketika ia pulang kampung, ia berhasil membawa uang ratusan juta rupiah. Bisa membangun rumah, turut menyumbang pembangunan masjid, membantu kegiatan warga di sekitarnya, juga bisa naik haji. Setelah itu, ia tidak mintar lagi. Insyaf. Terus mendalami agama, ceramah di berbagai tempat. Namun ia pun tetap tidak menolak ketika orang-orang yang diduga calon duta pun mengundangnya untuk ceramah. Ia cukup disegani di masyarakat. Pernah pula ia menjadi anggota dewan, baik di kabupaten maupun di provinsi.

***

Sudah setahun Kiyay Kusa meringkuk di penjara Kelas I, di Jalan Merdeka, Palembang. Hampir setiap hari ia menyesali apa yang telah diperbuatnya dulu. Ya, ia mungkin ‘kualat’ seperti yang pernah disampaikan Nyai atau kerabat keluarganya. Ia sudah diperingkatkan untuk tidak ngeratak di daerah sendiri, namun ia nekat juga karena terbujuk oleh kenalannya dari lain kampung.

“Sudahlah, Yay, ini rezeki sudah di depan mata. Kurang lebih seratus juta. Perhitungan kita sudah matang. Apa kamu mau kalau si Lelamu itu nanti didahului dilamar orang. Kudengar ada seorang keratak yang siap membelinya 30 juta.” demikian bujuk Toni Codet waktu itu, preman yang ia kenal di terminal Tanjung Raja. Sedikitnya sudah tiga kali Toni Codet masuk penjara karena kasus sejenis, perampokan. Ia dikenal dengan nama Toni Codet karena luka codet di pipi kanannya. Luka itu bekas sabetan pisau lawannya ketika berkelahi di terminal 7 Ulu Palembang beberapa tahun lalu.

“Tapi kami pantang.”

“Ah, sudahlah. Pokoknya nanti bagianmu lebih besar. Kita hanya bertiga.”

Dengan segala bujuk rayu, akhirnya ia mengikuti ajakan Toni Codet dan temannya untuk menghadang seorang toke karet di pingiran daerah Prabumulih.

Sampai akhirnya, pagi itu, di tengah perkebunan karet yang sepi, sebuah mobil open cup putih melintas. Di depan duduk dengan tenang seorang sopir dan seorang toke karet. Mereka tampak asyik bercakap-cakap. Dan ketika mobil itu keluar dari perkebunan karet, menuju jalan aspal kecil yang di kanan-kirinya penuh semak, keduanya pun masih asyik mengobrol. Barulah keduanya tersentak ketika tiba-tiba dari arah belukar, di kanan-kiri jalan, muncul dua buah sepeda motor begitu saja. Yang satu dinaiki satu orang, sedangkan motor yang satunya lagi dinaiki dua orang. Sang sopir pun berusaha menghindar, membanting stir ke pinggir jalan. Ia tersuruk di parit kecil. Dengan gesit dua pengendara motor melompat dan langsung menodongkan kecepek sambil berteriak agar orang yang ada di dalam mobil mengeluarkan uang. Motornya sendiri ia geletakkan begitu saja dalam kondisi masih menyala.

Tampaknya, hanya dengan hitungan detik, tanpa perlawanan, kedua pengendara sepeda motor itu pun berhasil merenggut sebuah tas yang berisi uang. Keduanya pun kabur begitu saja. Sementara itu, Kiyay Kusa sontak kebingungan, apalagi setelah kedua penumpang mobil itu keluar dari mobilnya dan meneriakinya perampok. Ia lantas tancap gas menyusul dua temannya yang telah kabur entah ke mana. Mungkin ke tempat yang telah mereka janjikan sebelumnya. Ia terus menancap gas, sampai di simpang jalan besar, ia injak rem motor demikian mendecit untuk menghindari tabrakan dengan mobil yang melintas di depannya. Ia tak bisa mengendalikan diri. Terguling. Mobil yang hampir ditabraknya ternyata mobil patroli polisi. Dan ia tidak begitu sadar ketika kemudian ia telah berada di rumah sakit. Dihadapannya kini ada dua orang yang tadi meneriakinya perampok, empat orang polisi, dan kedua tangannya kini telah diborgol ke ranjang tempatnya berbaring.

***

Setahun di penjara tidak memutuskan niat Kiyay Kusa untuk tidak melakukan sedekah lepas lagi. Ia keluar lebih dulu dari Toni Codet dan temannya. Ia tidak merasa mengkhianati Toni Codet yang akhirnya ditangkap berkat informasinya. Ada keberanian yang mantap dalam hatinya, entah keberanian seperti apa. Sulit ia gambarkan.

Ketika tiba di rumah, sepulang dari penjara di Palembang yang berjarak sekitar 70 kilometer dengan waktu perjalanan kurang lebih satu setengah jam, ia tetap disambut hangat oleh kerabat keluarganya. Bahkan bapaknya sendiri yang menjemputnya, masih mengeluarkan kata ‘kualat’ padanya, dengan nada agak kesal. Sedangkan ibunya sendiri memilih diam.

Dan kini, dengan keberanian yang tulus ia melupakan Lena. Tidak dendam, meskipun masih ada sedikit perasaan cinta. Apa boleh buat, pada akhirnya Lena terpikat juga oleh seorang keratak yang dulu diisukan memang akan ‘membelinya’. Ia merasa, mungkin itu sudah jodohnya.

Ya, seminggu setelah berada di rumah, Kiyay Kusa berniat untuk melakukan sedekah lepas kembali meskipun mungkin tanpa yasinan. Ia kembali mengahadap Nyai, menyodorkan sebutir telur ayam dan secanting beras. Juga mangkuk yang berisi air dari sembilan desa dengan bunga tujuh macam. Tak lupa, ia menyelipkan amplop putih di bawah nampan yang ia sodorkan.

“Mohon doa restu, Nyai, mudah-mudahan usaha saya kali ini benar-benar lancar dan berhasil.”

Kiyai Kusa mundur, tanpa menunggu komando Nyai, bahkan membiarkan perempuan tua itu terpaku penuh ketidakmengertian. Satu kata pun tidak terlontar dari mulutnya untuk petatah-petitih tamunya.

Kiyay Kusa menuruni tangga kayu rumah panggung Nyai. Senyumnya tersungging. Di hadapannya tengah berdiri seorang lelaki sesusia bapaknya dengan senyum mengembang pula, Ir. Rizal, ahli budidaya keramba, yaitu sistem perikanan terapung. Orang yang ahli budidaya perikanan ini dikenalnya di penjara sebagai penyuluh bidang budidaya perikanan bagi para narapidana yang berminat terhadap budidaya perikanan. Orang ini dikenal banyak mengembangkan sistem budidaya keramba sejak lama di Sumatera Selatan.

“Di berbagai pelosok Sumatera Selatan sudah kujelajahi dan aku merasa berhasil menerapkan ilmuku ini. Kecuali di sini, di kota kecilmu. Hanya di sinilah yang hampir tidak ada keramba di sungai maupun di lebak lebung. Sungai Komering hanya dikenal namanya saja. Tapi lihatlah di Sungai Ogan, tetangga kita, keramba berderet di mana-mana. Kau tahu, mengapa ilmuku tidak berhasil di sini dan begitu sulit menemukan keramba ikan? Atau mungkin karena di sini sudah banyak orang kaya atau setidaknya ingin menjadi kaya mendadak?” retoris Ir. Rizal sambil tersenyum. “Untuk ke depan, kau tinggal pilih, mau benar-benar hidup dan kencan dengan keramba ikan, atau mau pilih diuber-uber interpol, atau bahkan sekalian ditembak interpol di negeri tetangga?” lanjut lelaki itu dengan berbisik sambil terkekeh.

Kiyay Kusa hanya tertawa sambil meninju punggung Ir. Rizal. Tidak keras tentu. Ia tak perlu menjawab pertanyaan orang yang dikenalnya sebagai salah satu penyuluh di penjara itu. Kedua orang itu terus tertawa-tawa keluar dari gang rumah Nyai sambil sesekali saling tinju.

Dari balik pintu rumah kayunya yang panggung, Nyai mengintip kedua lelaki itu dengan masih penuh ketidakmengertian. Pipi kanannya menyembul oleh gumpalan tembakau dan pinang-sirih yang menyelip di antara keriput pipi dan gusinya yang masih utuh. Namun, mungkin untuk sekedar menghibur dirinya, ia mencoba mengangguk-angguk sambil tersenyum, seperti menemukan suatu jawaban.

Palembang, Mei-Juni 2006

Catatan :

Duta : Istilah khusus untuk orang dari daerah Kayuagung (Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan) yang biasa mencari ‘penafkahan khusus’ di daerah lain, terutama di luar negeri. Dalam bahasa Kayuagung sendiri dikenal dengan istilah keratak (perampok). Namun masyarakat menilai bahwa seorang duta/keratak tidak bisa disejajarkan dengan preman atau perampok pada umumnya. Di samping mereka banyak beroperasi di luar negeri, konon mereka pun pantang menyakiti/ menganiaya korbannya. Di Singapura dan Malaysia, menurut data Interpol, para duta dikenal dengan julukan Nobel Wood atau Gang Nobel Wood.

Kecepek : Senjata api rakitan masyarakat/tradisional yang biasanya digunakan untuk berburu babi/binatang lainnya, baik di hutan maupun di ladang. Namun kemudian senjata ini sering disalahgunakan orang-orang tertentu, terutama untuk melakukan kejahatan.

Kemplang : Salah satu jenis kerupuk khas daerah Palembang/Sumatera Selatan. Ada yang digoreng dan ada yang dipanggang. Bahan utamanya dari tepung terigu/sagu dan ikan.

Keramba : Sistem perikanan terapung (biasanya di danau, sungai, maupun rawa yang sedang pasang. Keramba biasanya dibuat dari bilah-bilah bambu yang dibentuk kotak sedemikian rupa. Ukurannya bervariasi, kurang lebih berukuran sekitar panjang 2 m, lebar 1,5 m, dan tinggi 1,5 m. Di dalam keramba inilah dibudidayakan ikan.

Kiyay : Panggilan khusus untuk seorang lelaki dewasa yang dianggap lebih tua/ dituakan.

Lebak lebung : Sistem budidaya perairan yang memanfaatkan lahan rawa atau sungai (lebak dan lebung), baik untuk pertanian maupun perikanan.

Mintar : Proses beroperasinya seorang duta.

Morge Siwe : Sembilan desa/kampung, yang meliputi Kayuagung, Jua-Jua, Kedaton, Kotaraya, Sidakersa, Paku, Mangunjaya, Sukadana, dan Perigi.

Nage : Bermakna ‘menagih’, yaitu menagih ‘zakat’ atau ‘hutang’ (versi para duta), terhadap orang kaya yang kikir atau orang kaya non-Muslim. Pada kenyataannya istilah ini digunakan para duta sekedar ‘dalih’ dalam melakukan aksinya.

Ngeratak : Merampok

Nyai : Makna sebenarnya adalah ‘kakek’ atau ‘nenek’. Namun di masyarakat Kayuagung, sebutan/panggilan khusus ini juga ditujukan kepada orang yang dianggap memiliki ilmu mistis atau orang yang dianggap sebagai sesepuh/ dituakan.

Pempek, model, tekwan : Beberapa jenis panganan khas yang terdapat di Palembang/ Sumatera Selatan. Bahan utamanya dari tepung terigu/sagu dan ikan.

Pesirah : Setaraf kepala desa tempo dulu. Orang yang dijadikan pesirah biasanya yang memiliki ilmu pengetahuan atau kekayaan lebih, memiliki wibawa, disegani masyarakat, atau masih kerabat keluarga pejabat tertentu.

Sedekah lepas : Ritual khusus yang dilakukan oleh para duta/keratak sebelum mereka berangkat mintar.

Toke karet : Sebutan/istilah khusus bagi seseorang yang memiliki lahan karet yang luas dan memiliki banyak uang dari hasil penyadapan getah karetnya.