Tentang Penulis

ALPANSYAH, lahir di Musi Banyuasin, 01 Januari 1970. Pendidikan terakhir adalah S1 FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sriwijaya tahun 1993. Saat ini adalah guru pada SMP Negeri 2 Tanjung Batu Ogan Ilir dan pembimbing bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia pada Bimbingan Belajar Gilland Ganesha. Selain mengajar, juga aktif menulis cerita pendek dan artikel tentang bahasa dan sastra. Beberapa cerpennya pernah dimuat di surat kabar Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres dan majalah remaja Annida. Beberapa artikel tentang bahasa dan sastra pernah dimuat di buletin MGMP BP3M SLTP Sumatera Selatan, Majalah WUNY (Warta Universitas Negeri Yogyakarta), Majalah Pendidikan Gerbang (Yogyakarta) dan Agung Post (Kayuagung).

Tahun 2004 menjadi juara I tingkat Provinsi Sumatera Selatan dalam lomba menulis esai yang berjudul, “Dari PON XVI Hingga Ketika Kita Harus Mengejar Ketinggalan (Sebuah Tinjaun Kebahasaan).” Menjadi juara III tingkat Provinsi Sumatera Selatan dalam Lomba Menulis Cerita Rakyat yang berjudul, “Legenda Batu Pengantin.

Tahun 2005 cerpennya bertajuk, “Matahari di Atas Musi” meraih peringkat ke-8 Tingkat Nasional dalam Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) 2005 yang diselenggarakan Dirjen Dikdasmen Depdiknas di Bogor, Jawa Barat. Cerita rakyat yang berjudul, “Sisir Emas Puyang Putri” meraih juara III Tingkat Nasional dalam Sayembara Menulis Cerita Rakyat Pusat Bahasa Depdiknas dalam rangka Bulan Bahasa 2005.

Rumput Fatimah

Cerita Pendek Alpansyah


BAYINYA dalam posisi menyungsang!” demikian aku mendengar kesimpulan bidan Tuti kepada Karim, suamiku. Dari getar suara yang gelagapan, aku tahu suamiku itu tengah diserang kepanikan yang hebat. Kurasakan tangannya tak henti-henti mengusap butiran-butiran keringat yang membuncah di mukaku.

“Tenanglah, Ma! Atur napas sebaik-baiknya. Kau dapat mendengar dengan jelaskan? Ikuti petunjuk Bu bidan," ujar Karim menyadarkanku. Ia membungkuk, merangkul kepalaku.

“Bu, jangan tidur. Buka matanya! Buka!” bidan Tuti mengingatkan.

Aku tidak menjawab. Semula aku merasakan kesakitan yang luar biasa. Bumi seakan terbelah. Setelah itu aku merasa kelelahan yang berat. Rasa kantuk menggiringku untuk melupakan perjuangan yang saat ini seharusnya aku menangkan, yaitu melahirkan anakku.

Kulihat dinding kamar rumahku merapat, mendekat ke arahku. Ruang kamar yang semula berukuran tiga kali empat meter itu kini terasa sempit, hanya menyisakan sedikit tempat untukku berbaring. Dinding kamar berubah menjadi tembok-tembok yang tinggi mengurungku. Sementara raut muka bidan Tuti yang tengah membantu persalinanku dan wajah Karim, suamiku, serta beberapa orang tetangga yang ikut panik dalam ruangan itu terlihat kabur dan jauh. Jauh sekali! Namun, suara mereka sangat dekat di telingaku. Sangat jelas! Seakan pita suara orang-orang yang berbicara itu menempel di gendang telingaku.

Dalam kelelahan yang berat dan kantuk yang tertahan, aku melihat masa kanak-kanakku yang membentang di sebuah tanah lapang di ujung desa. Mulanya tanah itu adalah areal persawahan. Tetapi sejak kemarau panjang melanda desa kami, tanah-tanah becek persawahan berubah menjadi tanah lapang yang retak-retak. Aku sering berlari-lari di atas tanah retak itu sambil sesekali memungut kepingan-kepingan tanah yang mengeras kemudian melemparkannya. Kepingan tanah yang kulemparkan itu melesat di udara untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali terhempas ke bumi bak nasib pesawat terbang yang jatuh, remuk berkeping-keping. Sesekali aku berusaha melemparkan kepingan tanah itu setinggi-tingginya kalau mungkin sampai ke langit. Aku percaya Tuhan ada di langit. Aku ingin ia melihatku. Sayangnya, lemparanku tidak cukup kuat sehingga baru melambung beberapa meter saja kepingan tanah itu sudah menghujam kembali ke bumi bahkan ada yang nyaris menimpa kepalaku sendiri. Aku menikmati imajinasi tanah kering yang kulemparkan itu.

Tanah retak dan kering itu bentuknya berpetak-petak atau cekung kecil-kecil seperti serpihan kaca yang pecah. Namun, kalau kaca warnanya bening dan datar tetapi pada tanah kering tentu saja warnanya adalah warnah tanah, cokelat kehitaman, dan cekung. Lebih tepat mirip tempurung kelapa.

Di tanah lapang bekas persawahan yang mengering itu juga aku sering bermain layang-layang. Menurutku anak perempuan tidak selamanya harus bermain congklak atau lompat karet. Tidak ada larangan bagi anak perempuan bermain layang-layang. Bermain layang-layang sangat menyenangkan sebab aku merasa seperti berada di bawah payung besar, payung langit. Lebih dari itu, langit yang cerah menjadi lebih indah saat awan-awan putih berarak mengajakku untuk terus bercanda.

Sekali lagi, aku yakin Tuhan ada di langit. Oleh karena itulah, aku menuliskan permohonanku kepada Tuhan di kertas layang-layang sebagaimana juga para malaikat dapat mengejawantah menjadi apa saja dalam menyampaikan wahyu atau membagikan rezeki.

Ada tiga permohonan yang kumintakan melalui tulisan pada layang-layang sebagaimana pernah kudengar dari kakak-kakakku saat mereka berdoa setelah melakukan shalat. Pertama, kelak dewasa aku ingin bersuamikan seorang pria yang saleh, jujur, dan setia. Kedua, aku ingin melahirkan anak yang banyak. Dan ketiga, aku ingin mati dalam keadaan beriman. Lalu aku menitipkan pesanku itu kepada malaikat Jibril yang mengejawantah sebagai layang-layang. Tentu saja aku berkata kepada layang-layang agar Tuhan tidak marah karena tulisanku sangat jelek karena aku masih kecil. Namun, aku merasa Tuhan begitu dekat denganku. Tulisan bagiku hanya bentuk saja sedangkan isi permohonan ada dalam hati.

Aku melompat-lompat senang saat layang-layang itu melayang, meliuk-liuk ke langit, lalu membumbung tinggi. Begitulah aku dengan segala kemanjaan riangku.

Ketika aku tumbuh menjadi gadis remaja, aku merasakan pesan yang kukirim melalui layang-layang dikabulkan Tuhan. Karim, seorang pemuda lulusan pesantren di desaku melamarku. Kami menikah dengan segala suka cita. Berdua kami lalui tangga waktu, puncak-puncak hari dengan tali kasih sayang. Dan puncak segala kebahagian kami adalah saat aku akan melahirkan anak kami yang pertama ini.

Namun, haruskah klimaks dari segala puncak-puncak kebahagian harus berakhir dalam kantukku yang berat? Lalu mengapa Tuhan seperti melupakan permohonanku yang kedua, yaitu melahirkan anak yang banyak? Sebuah pesan yang dahulu pernah kutitipkan kepada malaikat Jibril yang mengejawantah melalui layang-layang dahulu.

“Ma, jangan tidur! Buka mata! Buka! Tarik nafas!” kudengar suara Karim mengkhawatirkanku.

“Tarik nafas dalam dalam-dalam lalu lepaskan!” demikian bidan Tuti membimbingku.

Aku tidak berani membuka mata. Ruangan kamar terlihat sudah sangat menyempit bahkan hanya berjarak sekilan dengan tempatku kini terbaring. Sementara wajah orang-orang yang mengelilingiku semakin samar, semakin jauh. Tetapi, suara-suara mereka sangat jelas. Sangat dekat! Pita suara mereka sekan menempel di gedang telingaku. Jelas, jelas sekali!

“Ini air rendaman rumput Fatimah! Coba buka mulut, minum!” kata Karim seraya membantu menegakkan kepalaku yang layu.

Kudengar pula suara Cek Imas, seorang janda tua tetangga kami yang hidupnya hanya mengandalkan dari mengayam tikar dari rumpun purun.

Biasonyo, wong mudah melahirkan kalau la diminumke bayu rendaman rumput Fatimah. Rumput itu asli dari Mekah. Cirinyo pulo, bungo rumput Fatimah tu kagek mekar saat dicelupke ke jero bayu di cangkir,” demikian ujar Cek Imas.

Rumput Fatimah? Aku tidak sempat memberitahukannya kepada Karim bahwa rumput itu aku selipkan di bawah lipatan pakian di dalam lemari. Syukurlah kalau sudah ditemukan. Rumput itu pemberian ibu mertuaku saat mereka turun haji tahun lalu.

“Ini rumput dari Mekah. Menurut orang-orang air rendaman rumput ini berkhasiat melancaran proses persalinan. Ambilah siapa tahu nanti kau perlukan!” kata ibu mertuaku waktu itu.

Rumput itu hanya setangkai dan sudah mengering. Ada butir halus seperti serbuk bunganya. Terasa kasar bila di pegang. Warnanya seperti warna setangkai padi kering, bukan kuning tetapi keabu-abuan.

Lalu mengapa Cek Imas meminta Karim meminumkan air rendaman rumput Fatimah? Bukankah itu berarti proses kelahiran anakku yang kata bidan Tuti tadi menyungsang mengalami kesukaran? Ada rasa curiga menyebul dalam benakku. Jangan-jangan permohonanku dahulu tidak sampai kepada Tuhan atau malaikat Jibril tidak menyampaikan semuanya, hanya sepotong-sepotong? Demikian pikirku menduga-duga.

Tiga hari lalu aku mendapati Cek Imas menangis.

Ngapo cak lesu nian, Cek?” tegurku melihat wanita tua itu yang menekuk muka walau tangannya masih menganyam rumpun demi rumpun batang-batang purun untuk dijadikan tikar.

“Malaikat Jibril pilih kasih?” sahutnya.

“Tahu darimana?”

“Tadi pagi ia mengejawantah dalam rezeki. Ia membagikan uang tiga ratus ribu. Istilahnya uang kompelasi BBM…”

“Bukan, kompelasi BBM, Cek! Tapi kompensasi BBM. Itu pengganti dari harga kenaikan minyak tanah yang tadinya murah sekarang jadi mahal,” kata membantu meluruskan.

“Tetapi mengapa Jibril membiarkan saja aku diberi dua ratus ribu melalui tangan orang-orang mengurusnya. Katanya aku tidak punya KTP. Uang mengurus KTP itu seratus ribu," ujar Cek Imas.

Kali ini suara Cek Ima terdengar lagi, “Minumke lagi bayu rumpu Fatimahnyo. Kalu-kalu ado menefaarnyo. Biasonyo mak itu, pengalamanku selamo ini!”

Yo, Cek!” Karim, suamiku mengikuti anjurannya.

Suara Cek Imas dan rezekinya yang hanya dua ratus ribu telah merantai pada ingatanku tentang malaikat Jibril, malaikat penyampai wahyu dan pemberi rezeki ini. Apakah ia tidak menyampaikan permohonanku yang kutipan saat ia mengejawantah menjadi layang-layang, yaitu aku ingin melahirkan anak yang banyak? Kelahirkan anak pertamaku ini terasa sangat susah. Aku seakan berada di batas siang dan malam, di batas bumi dan langit, hitam dan putih! Di batas dua antara itu, samar kulihat kelebat sayap putih melesat.

“Kaukah itu Jibril?” aku bertanya. Namun dari caranya mengejawantah aku tidak merasa itu Jibril. Aku mengenal kebiasaannya sebab sudah terlalu sering ia mengejawantah.

“Kaukah itu Isroil?” juga tidak ada jawaban, kecuali suara gaduh orang-orang yang membantu persalihanku. Mereka tampaknya sangat panik dan seperti mengkhawatirkan sesuatu. Karim tidak lagi menyeka keringat yang membucah di mukaku karena saat ini keringat malah membuncah di kening mereka masing-masing.

“Tunggu!” tukasku lantang kepada sayap putih yang berkelebat sebab aku menangkap isyarat lain dari kelebat sayap putih itu, “Aku sangat yakin Tuhan mengabulkan tiga permohonanku dahulu. Buktinya permohonan pertama telah aku dapatkan. Artinya, aku masih melalui dua fase lagi yaitu melahir anak yang banyak kemudian barulah mati dengan keadaan beriman. Sekarang aku masih berada dalam fase yang kedua.”

“Ini adalah fase terakhir!” kelebat sayap putih menjawab.

“Tidak! Tidak mungkin. Pasti ada yang tidak jujur. Permohonanku tidak disampaikan semua,” bantahku.

“Malaikat Jibril maksudmu?” kelebat sayap putih memastikan.

“Ya, mungkin dia telah menyunat pesanku. Banyak fakta yang bisa kusebutkan untuk mendukung kecurigaanku.”

“Coba tunjukkan fakta-fakta itu!”

Aku mengurai satu per satu, mulai dari uang kompensasi BBM Cek Imas yang disunat, para hakim yang menjualbelikan perkara, anggota dewan yang menjadi calo, biaya naik haji yang di-mark up sampai dengan seorang ibu rumat tangga yang kedapatan mengutil di pusat perbelanjaan yang sampai di tangan hukum malah ia diperas.

“Apa kau yakin malaikat Jibril mengejawantah menjadi sebongkah hati. Hati pengurus kompensasi BBM, hati hakim di pengadilan, hati anggota dewan yang terhormat, atau hati para birokrat dan penegak hukum?”

“Mengapa tidak!”

“Engkau lupa bahwa para malaikat tidak bisa masuk dan mengejawantah ke hati mereka!”

“Mengapa?”

“Saat ini sebagian besar rumah hati mereka dijaga anjing. Di pagar rumah hati mereka tertulis 'Beware of dog!' sedangkan di dalam rumah hati mereka dihiasi patung-patung seni yang setiap hari dilap-lap sampai licin dan mengkilat!”

“Ada anjing dan patung di hati mereka?” aku bertanya sendiri.

“Ya!”

“Apakah ada anjing atau patung juga pada pesan yang kutitipkan kepada layang-layang waktu aku kecil?”

Kelebat sayap putih itu semakin mendekat, “Layang-layangmu gimbal!”

Aku mencoba mengingat-ingat. Mencoba mencari-cari kesalahan kecil yang tidak sengaja atau karena terlupa. Kelebat sayap putih itu memberi isyarat agar aku mendengarkan percakapan orang-orang yang tengah panik membantu persalinanku.

Cubo minumkan lagi banyu rendaman itu,” kata Cek Imas.

“Ya, secara medis aku berusaha tetapi pengaruh sugesti selalu tetap ada dan pada akhirnya ketetapan Tuhanlah yang berlaku,” ujar bidan Tuti.

“Lihat, ada sisa isolatif bening yang melilit rumput Fatimah itu. Pantas dari tadi ia tidak bisa medok. Nah, sekarang lihat rumput itu mekar memenuhi ruang gelas!” kata Karim.

“Cepat, minumkan pada istrimu!” kata Cek Imas.

Kembali kurasakan Karim menegakkan kepalaku yang layu. Mulutku yang kering kini basah oleh siraman air rendaman rumput Fatimah yang telah mekar. Tiba-tiba ada sesuatu yang kurasakan menekan dalam perutku, semakin menekan, semakin berat….

“Alhamdullih, selamat! Anaknya laki-laki!” teriak bidan Tuti.

“Syukurlah!” ujar Karim.

Aku tidak melihat luapan kegembiraan yang mengembang di muka Karim, di muka bidan Tuti, dan di muka Cek Imas. Wajah mereka terlihat samar, semakin jauh, jauh sekali. Tetapi, suara-suara mereka sangat jelas. Sangat dekat! Pita suara mereka seakan menempel di gedang telingaku. Jelas, jelas sekali! Setelah merasa kelelahan yang berat kini semuanya terasa ringan, sangat ringan seakan aku melayang. Aku melayang bersama kantukku yang semakin sulit kuhadang.

Keterangan:

Tentang malaikat Jibril mengejawantah menjadi layang-layang diilhami cerpen Danarto berjudul, “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat”.